Esports sudah disertakan sebagai eksibisi di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Setahun berselang, esports bahkan secara resmi masuk sebagai cabang olahraga di SEA Games Filipina.
Tak berhenti di situ. Indonesia juga memastikan esports masuk sebagai salah satu cabor di Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua. Bahkan kabarnya ia akan muncul di Olimpiade 2024 mendatang.
Walau begitu, kontroversi masih saja bermunculan. Orang-orang tetap skeptis dengan terus mempertanyakan alasan esports dianggap sebagai salah satu cabang olahraga. Apanya yang olahraga?
Hal demikian amat masuk akal mengingat sekilas, atlet esports cuma duduk di depan layar. Namun, ada fakta yang membuktikan bahwa esports layak disebut sebagai olahraga.
Bisa membakar kalori
Saat duduk tanpa melakukan aktivitas selama satu jam, tubuh bisa membakar hingga 102 kalori. Jika dua jam dengan aktivitas tambahan, kalori yang dibutuhkan jelas akan lebih banyak lagi.
Simak saja catur, olahraga yang kerap disamakan dengan esports karena tak butuh aktivitas berlebih. Pada 2018, grandmaster Mikhail Antipov tercatat membakar 560 kalori hanya dalam waktu dua jam.
Dapat menyebabkan cedera
Semua cabang olahraga dapat menyebabkan cedera. Percaya tidak percaya, epsorts juga demikian. Salah satu cedera yang kerap menimpa para atlet esports adalah carpal tunnel pada saraf median pergelangan tangan.
Olofmeister dari tim CS:GO Fnatic pernah mengalami cedera tersebut. Berikutnya ada Ladislav “GuardiaN” Kovács dari tim CS:GO Na’Vi, yang mengalaminya pada turnamen The Major 2016.
Kemampuan motorik yang tinggi
Pada 2017, Profesor Ingo Frobose dari Universitas Olahraga Jerman melakukan penelitian terhadap atlet-atlet eSports. Dia terkejut sekaligus kagum sebab mereka memiliki kemampuan motorik yang tinggi.
Pasalnya, atlet esports bisa melakukan lebih dari 400 gerakan di depan layar pada tiap menitnya sehingga butuh koordinasi tangan dan otak yang baik. Hal ini empat kali lebih banyak ketimbang orang biasa.
Denyut nadi setara atlet maraton
Frobose juga mengungkapkan hal lain dalam penelitiannya. Dia bilang bahwa atlet esports memiliki denyut nadi hingga 160–180 denyut per menit. Angka tersebut hampir setara dengan denyut nadi atlet maraton.
Butuh asupan nutrisi yang baik
Siapapun yang bergelut di ranah esports mesti punya kemampuan berkonsentrasi yang tinggi agar bisa tampil optimal. Mereka juga harus bisa mengkoordinasikan mata, otak, dan tangan dengan baik.
Untuk meraih semua itu, asupan nutrisi yang baik amat penting. Menurut pakar fisik Taylor Johnson, nutrisi bahkan termasuk sebagai empat pilar penting bagi atlet esports bersama recovery, psikologi, dan fisik.
So, dengan sederet fakta itu, serta iklim kompetitif yang sudah terbentuk belakangan ini, apakah kamu masih ragu untuk bilang esports sebagai salah satu cabang olahraga?