Sudah sejak 90-an FIFA hadir. Tapi hingga 2000-an awal, EA Sports selaku pengembang tak begitu peduli dengan game tersebut. EA, yang berbasis di Amerika Serikat, paham betul bahwa sepak bola bukanlah olahraga favorit. Yang mereka tahu basket dan american football jauh lebih disukai orang-orang di sana.
Itulah mengapa fokus investasi EA adalah Madden NFL, game american football. Game ini memang laku keras di Amerika. Keuntungannya mencapai puluhan juta dolar AS per tahun sejak kali pertama dirilis.
Dengan kondisi begini, untuk apa mengembangkan game olahraga lain seperti sepak bola secara serius? Lagi pula EA paham benar bahwa game sepak bola sudah jadi milik Konami dengan Pro Evolution Soccer yang terkenal itu.
Neil Thewarapperuma, manajer pemasaran EA Sports pada 90–an, bahkan pernah berucap seperti ini: “EA didn’t give a shit about FIFA.”
Yang kemudian mengubah cara pandang EA terhadap FIFA, salah satunya, adalah Thierry Henry. Pada 2004, pesepak bola asal Prancis yang waktu itu memperkuat Arsenal ini adalah bintang utama cover FIFA 2004. Namun, kebersamaan mereka hanya bertahan satu musim.
Pengkhianatan jadi pangkalnya. Pada 2005, Henry tiba-tiba tak melanjutkan kontraknya dengan FIFA dan malah meneken kontrak untuk muncul pada cover edisi terbaru PES. Kepada awak media, eks pemain Barcelona ini bahkan mengaku sudah memainkan PES sejak sepuluh tahun yang lalu.
Jelas saja para petinggi EA Sports langsung panas, terutama Vice President Bruce McMillan. Pengkhianatan dan ucapan Henry bikin dia geram bukan main. Kegeramannya makin menjadi manakala mendengar ucapan salah satu sahabatnya yang bilang bahwa FIFA kurang menarik.
Sejak saat itu, dia langsung meminta tim pengembang EA Sports serius menggarap FIFA, setidaknya untuk mengejar ketertinggalan dari PES. Nyatanya bukan hanya mengejar ketertinggalan. Kini, FIFA justru berada beberapa langkah di depan game besutan Konami tersebut.
Ketika belum lama ini Konami menghapus nama PES dan menggantikannya dengan eFootball, kemenangan itu terasa kian mutlak bagi FIFA.
Bagaimana FIFA menyaingi sekaligus mengalahkan PES
PES hadir sebagai pendatang baru yang menghentak. Tak lama setelah kelahiran PlayStation, game tersebut lahir. Nama awalnya: International Superstar Soccer (ISS).
Lewat game itu, Konami selaku pengembang tak hanya menyelipkan teknologi terbaru untuk menyaingi FIFA yang lebih tua. Mereka juga coba menghadirkan pendekatan yang berbeda. Jika FIFA terasa bak permainan arkade yang cepat, ISS lebih pantas disebut sebagai simulasi.
Pendekatannya memungkinkan pemain untuk bisa bermain lebih sabar, memanfaatkan ruang dan operan-operan pendek, memaksimalkan taktik dan strategi tertentu, serta memiliki tampilan side-on yang menyerupai pertandingan sepak bola sungguhan di televisi.
Sejak awal, cikal-bakal Pro Evolution Soccer ini memang tentang gameplay.
Saking kuatnya kesan itu, orang-orang tak peduli meski ISS tak punya lisensi resmi seperti FIFA. Saat bertransformasi menjadi Winning Eleven, misalnya, yang akan kamu mainkan adalah pemain-pemain bernama seperti ini: Naldorinho, Batustita, Roberto Larcos, Donadona, Shereer, dan sebagainya.
Soal pemain, Winning Eleven punya kelebihan ketimbang FIFA. Nama-nama tiap pemain boleh tak sama dengan aslinya, tetapi hampir semuanya memiliki statistik yang mirip dengan sungguhan. Pemain A dan pemain B statistiknya berbeda. Entah itu kecepatan, stamina, tembakan, operan, atau sundulan.
Adanya statistik seperti itu membuat kemampuan masing-masing pemain berbeda. Siapa yang pernah memainkan Roberto Carlos di Winning Eleven sebagai penyerang kendati posisi aslinya adalah bek kiri? Ini salah satu dampak dari statistik yang disematkan. Dalam hal ini, Carlos punya speed mencapai angka 9.
“Setiap pemain bisa kamu kenali,” kata Steve Merrett, PR Konami pada 2001–18.
Gary Paterson, yang menjadi desainer utama FIFA pada edisi 2004 dan 2005, sampai berkata seperti ini kepada The Guardian: “Saya tidak pernah mengira ada game olahraga lain yang mampu menciptakan gameplay yang sangat bervariasi, nyata, dan emosional saat itu. Saya menyukainya.”
Paterson juga mengaku bahwa PES cukup berpengaruh terhadap perkembangan FIFA. Pengkhianatan Henry memang jadi salah satu pemicu. Di luar itu, kekagumannya terhadap PES memunculkan berbagai macam ide untuk mengembangkan FIFA ke tingkat yang lebih jauh lagi.
Amati, tiru, modifikasi. Itulah yang EA lakukan.
Pertama-tama, EA berusaha untuk lebih fokus pada gameplay. Berikutnya, “Kami meningkatkan kecanggihan fisika bola dan menulis ulang bagaimana penjaga gawang melakukan penyelamatan. Saya juga fokus untuk mengganti elemen acak dengan kurva probabilitas, berdasarkan konteks,” ucapnya.
FIFA 06 dan 07 sukses besar karena upaya tersebut. Dua seri ini terjual hingga lebih dari lima juta kopi. Terlebih, setelah EA terang-terangan meniru konfigurasi tombol pemainan PES dan menerapkannya pada FIFA. Namun, setelah itu, mereka mengaku mulai fokus pada diri sendiri.
“Setelah FIFA 08 kami tidak benar-benar melihat ke PES. Kami memiliki banyak hal yang ingin kami lakukan. Kami berbicara banyak tentang sistem pemotretan, versi yang lebih canggih dari apa yang kami buat di PS2. Para desainer akan berbicara tentang bagaimana tantangannya supaya bukan untuk mengoper bola sekali saja, tetapi 15 kali untuk menciptakan ruang untuk sebuah tembakan.”
Setelah bertahun-tahun berada dalam bayang-bayang PES, FIFA akhirnya berhasil merebut pasar. Di Eropa, edisi 2008 terjual hingga 4 juta copy, jauh di atas PES 2008 yang hanya separuhnya. Kendati begitu, baru pada edisi 2010 FIFA berhasil merebut pasar PES secara global. FIFA laku 10,71 juta copy kala itu, sedangkan PES 4,51 juta.
Jurang kian lebar jika melihat hasil penjualan secara keseluruhan. Sejak rilis pada 1993, FIFA telah menghasilkan keuntungan sekitar Rp313 triliun untuk EA Sports. Bagaimana dengan PES? Hanya Rp3,3 triliun. Jaraknya begitu besar sehingga PES pun terjungkal.
Namun, ini sama sekali tak mengejutkan mengingat apa yang sudah mereka lakukan. Sementara EA terus berfokus pada fitur (Ultimate Team, sepak bola wanita, The Journey) dan memperbanyak lisensi yang memang salah satu kekuatan mereka, Konami malah bertindak agresif dengan mengambil beberapa lisensi dari EA.
Hak eksklusif untuk beberapa stadion, tim, dan liga ternama berhasil mereka peroleh, termasuk Juventus dan Barcelona. Namun, kita tahu hasilnya tak sesuai harapan.
Satu-satunya hal positif dari PES setelah era kebangkitan FIFA adalah penggunaan Fox Engine, engine baru yang juga tersemat di game Metal Gear Solid bikinan Hideo Kojima. Meski gagal total pada PES 2014, Konami mampu membenahinya di edisi-edisi berikutnya.
Puncaknya adalah PES 2020. Media game kenamaan seperti IGN dan Gamesradar bahkan kompak memberi review positif. IGN memberi angka 8,3 untuk game tersebut, mengungguli FIFA 20 yang cuma 7,8. Gamesradar, sementara itu, memberi nilai 4, sama dengan FIFA.
“A faithful replication of the beautiful game. The most realistic PES to date,” begitu kata Gamesradar.
Sekilas, PES 2020 memang tampak unggul dari FIFA 20. Yang menonjol dari game ini adalah gameplay, senjata lama Konami. Pada edisi ini mereka tampak coba membawa kembali gameplay taktis dan menyenangkan yang terakhir kali kita nikmati di PES 2013.
Berpadu dengan Fox Engine-nya Kojima, PES 2020 menyajikan pengalaman simulasi sepak bola yang super realistis. Tampilan kamera default-nya kini memberikan perspektif khas siaran langsung televisi, kemudian kehadiran bola yang terlihat sangat mirip dengan aslinya.
Wesley Yin-Poole dari Eurogamer menggambarkan bola di PES 2020 sebagai “Sesuatu yang indah, game sepak bola terbaik yang pernah saya tendang. Terasa berat, memantul secara realistis, dan melayang di udara dalam lengkungan lezat seperti yang dilahirkan David Beckham dengan kemegahannya.”
Sayangnya, PES sudah keburu lenyap sebelum semuanya benar-benar sempurna.
Pergantian identitas membuat PES kandas
Sejak debut pada 1993, EA Sports konsisten dengan identitas game mereka. Nama FIFA selalu terselip sedari edisi awal, sekarang, hingga tahun-tahun yang akan datang. Tak peduli apakah hanya embel-embel tahun atau ditambah ‘International Soccer’, nama FIFA selalu terselip.
Ini berbeda dengan game sepak bola bikinan Konami. Rilis pertama kali pada 1994, mereka sudah melakukan beberapa kali perubahan nama. Dimulai dari International Superstar Soccer, kemudian Winning Eleven, lalu berlanjut ke Pro Evolution Soccer alias PES dan yang terkini, eFootball.
Perbedaan sederhana itu barangkali jadi alasan lain mengapa FIFA berhasil menjungkalkan PES, eh eFootball.
***
Beli voucher PSN Card ya di itemku! Udah hemat, gampang, cepat pula. Langsung cus aja!
Untuk press release, iklan, dan kerja sama lainnya dapat mengirim email ke [email protected].