eFootball 2022, yang katanya pengganti Pro Evolution Soccer alias PES itu, akhirnya rilis. Namun, jujur saja, saya tak tertarik memainkannya. Saya bahkan tak peduli status ‘free-to-play’ pada game tersebut, terutama setelah melihat berbagai review eFootball yang beredar.
Di situs Steam250, game sepak bola bikinan Konami itu memuncaki daftar ‘Hall of Shame’.
Situs tersebut adalah situs yang mengakumulasi review game dari para penggemar. Khusus review eFootball, ada 7000 ulasan yang masuk dan cuma 1600 yang berisi ulasan positif. Singkat kata: delapan persen saja.
Beli Voucher Steam Wallet termurah hanya di itemku. Udah hemat, gampang, cepat pula! Klik di sini untuk mulai belanja. Jangan lupa ikuti akun Instagram dan Twitter EXP untuk konten menarik lainnya.
Kalau cuma satu dua aspek yang terlihat buruk sih tak masalah. Lha ini, hampir semua aspek jadi sorotan negatif.
Dari segi konten, kita baru bisa memainkan sembilan klub saja. Semuanya adalah klub-klub besar yang memang terikat kerja sama dengan Konami.
Mulai dari Arsenal, Barcelona, Bayern Muenchen, Corinthians, Flamengo, Juventus, Manchester United, River Plate, serta Sao Paolo.
Kita juga belum bisa menjajal beberapa konten unggulan yang selama ini jadi favorit orang-orang di PES.
Tak ada fitur myClub, pesaing Ultimate Team-nya FIFA. Tak ada pula Master League dan Become a Legend. Kamu bahkan cuma bisa memainkan game dengan durasi selama lima menit untuk tiap laga.
Satu hal lain yang paling banyak jadi sasaran kritik: Grafisnya.
Di media sosial, banyak sekali beredar tangkapan layar maupun video dari orang-orang yang menunjukkan betapa buruknya grafis eFootball.
Salah satunya soal kemiripan gambar dengan pemain sepak bola aslinya yang sungguh sangat mengkhawatirkan.
Wajah Cristiano Ronaldo tidak simetris, Lionel Messi seperti monster, David De Gea lehernya kepanjangan, lalu ada Raphael Varane dengan mata juling.
Saya jadi mikir, karena Free Fire sudah punya versi Max, sepertinya eFootball 2022 layak menjadi game-burik-bikin-sakit-mata berikutnya.
Terlebih, banyak glitch yang muncul, seperti pergerakan pemain dan bola yang kurang natural. Ditambah lagi lengan pemain yang seolah bakal putus tiap kali bersentuhan dengan tubuh pemain lain. Semuanya benar-benar sangat berbeda dengan PES.
Haruskah kita bersabar?
Ribut-ribut soal eFootball 2022 dan segala review negatifnya mengingatkan saya dengan PES 2014. Saat baru pertama kali rilis, game tersebut juga mendapat banyak respons negatif sebagaimana eFootball. Meski begitu, pada mulanya semua menantikan-nantikan penerus PES 2013 ini.
Salah satunya karena kehadiran Fox Engine. PES 2014 bakal menjadi edisi PES pertama yang menyematkan engine tersebut.
“Salah satu perjuangan keras kami saat transisi adalah membuat game tersedia online. Saat kami berpindah ke PS3, EA sudah mengubah engine mereka, namun kami masih menggunakan landasan PS2. Kami hanya memoles animasi dan fitur AI saja,” kata Creative Producer PES Kei Matsuda suatu kali.
Fox Engine adalah teknologi bikinan desainer game kenamaan Hideo Kojima bersama timnya. Engine ini juga tersemat di sejumlah game populer, termasuk Metal Gear Solid yang legendaris itu. Inilah yang bikin hype PES 2014 kian besar, bahkan sebelum rilis.
Namun, yang para penggemar peroleh tak seindah teaser-teaser yang muncul. Grafisnya bermasalah karena glitch di mana-mana, sedangkan gameplay yang dibawa tak semenarik dan amat berbeda dari edisi sebelumnya. Wajah beberapa pemain juga banyak yang tak mirip dengan aslinya.
“Kami tahu ada yang salah dengan PES (2014). Tap versi berikutnya akan benar-benar berubah. PES 2014 adalah transisi, jadi bersiaplah merasakan hal besar (di seri PES selanjutnya),” ujar Shinjo Hirano, bos Konami bagian Eropa kala itu.
Ucapan Hirano terbukti sebab edisi berikutnya, PES 2015, mengalami peningkatan berkali-kali lipat. Di IGN, game ini mendapat nilai 9 dari 10, kemudian ada PC Gamer yang memberi empat dari lima bintang. Saya pribadi juga cukup menyukai PES 2015.
Pada edisi-edisi berikutnya, PES makin sempurna, terutama PES 2017 dan PES 2020. Dua edisi ini disebut-sebut sebagai game sepak bola terbaik Konami sejak era PES 2013 kesayangan kita semua. Saya bahkan masih betah memainkan PES 2020 sampai saat ini.
Salah satu kuncinya: Konami membawa kembali gameplay taktis, cepat, dan menyenangkan seperti yang sering kita lihat pada PES terdahulu.
Atau bisa jadi karena penggunaan Fox Engine pada game sepak bola tersebut mulai mendekati yang seharusnya.
Lantaran eFootball juga merupakan peralihan dari engine lama?—?Fox Engine?—?ke engine baru, yakni Unreal Engine, haruskah kita juga bersabar menunggu eFootball membaik hingga edisi-edisi berikutnya?
Saya sih pesimistis. Soalnya, Konami seperti sudah lepas tangan untuk menghadirkan game sepak bola realistis sebagai pesaing FIFA.
Upaya Konami untuk menghadirkan eFootball 2022 dengan format free-to-play menguatkan rasa pesimistis saya itu.