Begitu Sony mengumumkan pre-order PlayStation5 (PS5) akhir September tahun lalu, beribu-ribu orang langsung menyerbu. Salah satu retail di Inggris, Currys PC World, bahkan sudah kehabisan stok pre-order hanya dalam 10 menit secara online dan 4 jam di toko fisik.
Yang kita bicarakan adalah Sony dengan produk PS yang memang sudah terbukti kualitasnya sejak generasi pertama. Namun, coba bayangkan, sedikit saja, bagaimana jika ada cacat pada produk tersebut? Bagaimana seandainya masih banyak kesalahan pada program di dalamnya?
Di Reddit, ada sebuah laman komunitas bernama Patient Gamers. Laman ini berisi orang-orang sebagaimana namanya: Gamer yang sabar. Mereka adalah sekelompok gamer yang rela menunggu lebih lama untuk mencoba game-game ataupun produk gaming terbaru.
Tujuannya satu: Mereka enggan terjebak di tengah industri gaming yang seolah memaksa terburu-buru atas semua hal baru. Kita diminta membeli game yang belum sempurna. Tak jarang kamu mesti mencoba versi beta yang sebetulnya lebih mirip tahap awal pengembangan.
Dalam kaca mata pengembang atau produsen game, hal demikian terjadi sebagai alasan untuk lebih melibatkan gamer. Maksudnya, mereka ingin kita merasakan langsung apa saja kekurangan sebuah game atau produk, untuk menjadi landasan untuk perbaikan di kemudian hari.
Namun, para gamer kerap jadi pihak yang sial akibat hal tersebut. Kenapa?
Konsumen sebagai tumbal
Upaya menyediakan versi beta oleh para developer game sama saja dengan menumbalkan gamer alias konsumen yang seharusnya berperan sebagai raja. Apalagi jika mereka meminta para gamer mengeluarkan uang untuk produk yang belum sempurna.
Pada 2017, Edward Crisler dari Sapphire Technology pernah menceritakan keluh kesahnya soal pendekatan dalam banyak industri game saat ini. Dia menilai semua hal tersebut adalah perkara menyebalkan yang tak seharusnya terjadi.
“Mereka membuat game yang setengah jadi, tetapi memaksa kita untuk segera membelinya. Lalu kami berjuang keras memainkan game itu sembari menerima patch demi patch untuk perbaikan selama setahun,” tulis Crisler.
“Setelah menamatkan game, tiba-tiba sebulan kemudian kita harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli DLC (downloadable content). Setelah semua itu kami masih harus melihat patch,” sambungnya.
Itulah kenapa, kata Crisler, kita mesti menjadi patient gamer dalam urusan membeli game baru. “Seperti pepatah lama; ‘Sedikit kesabaran akan sangat bermanfaat’. Idenya sederhana: Jangan membeli game hingga game itu sudah keluar setidaknya selama satu atau dua tahun.”
Sabar pangkal hemat
Max Thielmeyer menjelaskan keuntungan yang bisa kita peroleh dengan menjadi patient gamer lewat artikelnya di Forbes. Selain menghindari game yang belum sempurna sepenuhnya, kita bisa menghemat lebih banyak uang. Ya, ini ada kaitannya dengan harga.
Thielmeyer mencontohkan summer sale di beberapa situs penyedia game seperti Steam. Tapi kami punya contoh yang lebih relevan dan belum lama ini terjadi, yakni soal FIFA 2021.
Saat pre-order diumumkan pada akhir Agustus lalu, game sepak bola saingan Pro Evolution Soccer (PES) itu dibandrol dengan harga sekitar Rp886 ribu. Beberapa mungkin menilai ini harga yang murah, karena, ya biasanya pre-order seperti itu.
Namun hanya selang dua bulan, tepatnya sejak Selasa (10/11) kemarin, tiba-tiba saja FIFA mendapat diskon hingga 50 persen. Bayangkan kalau kamu sudah membeli game ini sejak pre-order, misalnya, lalu melihat kabar diskon tersebut. Hmmm…
“(Dengan menjadi patient gamer) kamu juga akan menghemat banyak waktu karena bisa lebih paham soal game mana yang layak beli. Untuk yang menyukai game tetapi tidak punya banyak waktu, ini cara terbaik agar bisa bermain game dengan lebih menyenangkan,” kata Thielmeyer.