Crysis: Remastered jadi salah satu judul game paling diantisipasi kehadirannya pada 2020. Maka saat ia rilis akhir September lalu, dunia game langsung heboh. Kehebohannya tak berbeda dengan ketika game itu pertama kali dikenal dunia pada 2007.
Penyebabnya adalah grafis. Pada edisi remaster, Crytek selaku pengembang Crysis mengklaim bahwa game mereka dapat berjalan dengan resolusi hingga 8K! Yang kemudian jadi tuntutan tentu saja PC dengan spesifikasi tingkat tinggi.
Crytek bahkan sampai menggunakan tagline ‘Can It Run Crysis?’ sebagai bentuk keyakinan bahwa enggak semua PC sanggup menjalankan Crysis dengan grafis maksimal.
Keyakinan ini tidak kosong belaka, karena mereka sendiri sudah melakukan pengujian internal sebelum merilis gimnya.
“Belum ada GPU di luar sana yang sanggup menggunakan mode ‘can it run Crysis?’ di angka 30 FPS,” tutur Steffen Halbig, project lead Crysis: Remastered, via PC Gamer.
Tentu baru segelintir yang mengusung embel-embel 8K. Namun, sebagaimana Crysis, sebagian besar game yang hadir di masa ini kerap menjual kualitas grafis. Alhasil, tiap ada game baru, atau sekadar update, pasti ada peningkatan dari sisi itu.
Dua seteru di ranah game sepak bola, Pro Evolution Soccer dan FIFA, jadi contoh terbaik untuk membahas fenomena ini.
Setidaknya tiap dua edisi sekali mereka melakukan pergantian engine, seperti PES yang baru saja beralih dari Fox Engine ke Unreal Engine.
Semua peningkatan itu mereka lakukan guna menyajikan pengalaman gaming serealistis mungkin. Jika di sepak bola sungguhan rumput bakal bergoyang-goyang saat terinjak, mereka ingin menyajikannya ke dalam game. Begitu pula dengan butiran keringat, kerutan wajah, dan sebagainya.
Aspek-aspek demikian bisa hadir di layarmu sebab teknologi masa kini memungkinkannya terjadi. Kita akan bicara smartphone dengan standar RAM yang semakin hari semakin tinggi, PC dengan kartu grafis terkini, lalu konsol dengan peningkatan berlipat-lipat.
Pentingkah grafis? Penting!
Ada banyak aspek yang diukur untuk menyebut bagus-tidaknya game. Bagi Crytek, grafis berada di halaman pertama.
Menurut produsen game asal Jerman ini, posisi grafis setidaknya memegang peranan sebesar 60 persen dalam sebuah game.
“Orang bilang grafik tidak penting. Tapi coba mainkan Crysis dan katakan padaku seperti itu,” ujar eks CEO Crytek, Cevad Yerli. “Grafik, baik itu pencahayaan atau bayangan, membawamu dalam konteks emosional yang berbeda.”
“Semakin baik kualitas grafisnya, semakin baik tampilan fisiknya, semakin baik desain suaranya, semakin baik aset teknis dan nilai produksi, lalu diselaraskan dengan arahan seni, membuat segalanya terlihat spektakuler,” sambung sosok berdarah Turki itu.
Yerli tampaknya lupa menambahkan beberapa catatan. Bahwa penting atau tidaknya grafis tergantung pada jenis game.
Untuk game-game seperti Crysis Remastered, grafis memang jadi perkara utama karena, toh, tujuan mereka adalah menyajikan sesuatu secara realistis.
Itulah kenapa game sepak bola selalu menekankan peningkatan grafis tiap tahunnya. Para penggemar bakal mencak-mencak bila Cristiano Ronaldo hidungnya tidak simetris. Si pemain sendiri bahkan bisa saja mengkritik, seperti yang dilakukan Franck Ribery pada 2019.
“Belum lama ini saya bermain FIFA 20 dengan anak saya. Hey @EASPORTSFIFA, ini siapa?” tulis eks pemain Bayern Muenchen itu lantaran wajahnya di game tersebut tampak berbeda jauh dengan aslinya.
Situasi-situasi seperti itulah yang sebisa mungkin coba dihindari produsen game. Kebetulan teknologi yang ada saat ini memungkinkan semuanya terjadi.
Namun, sekali lagi, itu tergantung jenis game yang dibawa. Maka bagus-tidaknya grafis bukanlah penilaian mutlak.
Yang penting senang
Di masa ini banyak sekali game yang menuai kesuksesan kendati grafisnya b aja. Coba sebut apa game terakhir yang kamu mainkan bareng 8 hingga 10 temanmu?
Ya, kita sedang berbicara tentang Among Us, game yang sejak September hingga akhir 2020 amat populer.
Game itu mencapai popularitas bukan lewat grafisnya karena memang enggak ada yang bisa dibanggakan dari sana.
Yang Among Us bawa adalah gameplay sederhana yang memungkinkanmu bermain dengan orang lain, lalu berdiskusi menentukan siapa saja impostor.
Akan ada tawa tiap kali sesi itu berlangsung. Bahkan di luar game kamu akan terus menyunggingkan senyum lewat meme-meme yang bertebaran.
Singkat kata, Among Us menyajikan sesuatu yang dapat membuatmu bersenang-senang. Dan ah, bukankah ini tujuan kita bermain game?
Yang kemudian bisa kita simpulkan dari semuanya adalah grafis dan gameplay punya peranan yang sama-sama penting.
Akan terasa lebih sempurna bila dua hal itu dipadupadankan. Meski begitu, perlu dicatat bahwa grafis tak bisa bediri sendiri.
Kamu mungkin bisa menikmati game dengan grafis biasa saja selagi gameplay-nya menyenangkan seperti Among Us (atau Zuma!).
Ini tak berlaku sebaliknya untuk grafis. The Amazing Spider-Man 2 (2014), misal, punya grafis aduhai tetapi banyak yang mengkritik sisi gameplay. Di sinilah pembedanya.
Jake Simpson, lead programmer Raven Software, punya kalimat yang rasanya paling pas untuk menggambarkan fenomena ini.
“Argumen dasarnya di sini adalah bahwa gameplay yang bagus akan menggantikan grafis yang biasa saja, tetapi grafis yang bagus tidak akan menggantikan gameplay yang biasa-biasa saja—setidaknya tidak untuk waktu yang lama,” ujar Simpson.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan Top Up Voucher Steam Wallet termurah se-Indonesia di itemku!