Setiap akhir pekan, aktivitas Dani yang seorang desainer grafis lepas bukanlah mengotak-atik orderan klien. Tak ada tampilan katalog ide macam Pinterest dan Behance. Tak ada pula software pengolah grafis seperti Adobe Photoshop, SAI, atau Corel Draw.
Pada layar laptopnya justru terdapat tiga buah tab browser yang masing-masing berisi laman Whoscored, sebuah portal berita sepak bola, dan Twitter. Sementara di layar smartphone-nya, terpampang antarmuka game fantasy football.
Fantasy football adalah game yang bisa kamu akses via Play Store dan iOS. Bila malas download, kamu juga bisa mengaksesnya melalui situs resmi mereka. Tugasmu sederhana, yakni menyusun tim dari berbagai pemain di liga sepak bola negara tertentu.
Yang mesti kamu pahami, tiap-tiap liga memiliki Fantasy football-nya masing-masing. Gelaran besar semacam Piala Eropa serta Piala Dunia pun memiliki game serupa. Dani, sementara itu, memainkan Fantasy Premier League (FPL), sepak bola fantasi versi liga Inggris.
“Ini (menyusun tim FPL) rutinitas gue tiap akhir pekan,” ujar Dani.
Dani hanyalah satu dari jutaan penggila bola yang bermain Fantasy Premier League. Juliansyah, misalnya, adalah nama lain. Setiap pekan, tepatnya tiap akhir pekan, ia akan sibuk menyimak akun Twitter @fplgeneral dan @officialfpl untuk menganalisis pemain yang akan ia pilih.
Saat memberi alasan mereka memainkan game tersebut, jawabannya seragam. Kira-kira seperti ini: “Gue cuma diajak temen main ini pas Euro 2016.”
Ya, Dani dan Juliansyah mulai bermain fantasy football sejak mengikuti ajakan sejumlah kawan mereka pada helatan Euro 2016. Mulanya sebatas memenuhi ajakan. Tapi semakin lama, mereka mulai paham esensi dari permainan ini dan karena itulah mulai timbul rasa nagih.
Bikin pinter bola
“Gue ngerasa kalo lewat game ini gue bisa lebih tau banyak tentang sepakbola. Sebelumnya gue cuma ngikutin Arsenal. Tapi karena main game ini, rasanya gue bisa lebih tau banyak soal pemain-pemain lain. Jadi bisa lebih nyambung dan banyak bahan kalo ngobrol bola sama orang lain,” kata Dani.
Alasan Dani masuk akal. Kamu tahu bahwa di fantasy football, para pemain (sebutannya, ‘manajer’) boleh memilih belasan (sekitar 15) pemain yang berlaga di sebuah liga.
Pemain-pemain itu sendiri boleh berasal dari beragam klub, tetapi ada batasan soal berapa jumlah maksimal pemain yang berasal dari setiap setiap klub (biasanya tiga). Peraturan inilah yang mau tak mau memaksa Dani untuk mengikuti kiprah tim-tim lain.
“Main FPL, orang-orang bakal coba buat ngikutin tim yang gak populer kayak Everton atau Watford,” ujar Dani yang fans Arsenal ini. “Ini bener-bener nambah pengetahuan kita tentang sepakbola.”
Godaan hadiah
Alasan lain yang cukup umum mengapa orang menyukai fantasy football adalah untuk merasakan sensasi menjadi manajer klub sepakbola.
Memang, kompleksitasnya tidak seperti gim Football Manager, di mana kamu bisa mengatur segalanya: Keuangan, perekrutan pemain, taktik. Tapi di fantasy football, kamu benar-benar menyesuaikan pilihan pemain dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Mengapa? Karena perolehan poin di game ini didasarkan pada performa di lapangan sungguhan.
Jika pemain mencetak gol, bikin asis, atau mencatatkan clean sheet, poin yang didapat akan tinggi. Sementara jika pemain menerima kartu kuning, kartu merah, gagal mengeksekusi penalti, atau kebobolan banyak gol, poinnya minus. Inilah sisi menariknya.
Para manajer juga akan menguji kemampuan mereka dalam menganalisis. Mereka akan menerka kira-kira pemain mana yang akan bersinar, apakah sebatas one hit wonder atau justru memang pemain yang bisa konsisten bermain bagus. Selain itu, manajer pun harus pintar-pintar menyusun strategi pembelian pemain, karena terbatasnya budget.
“Musim lalu pernah terpaksa mainin (mantan pemain West Ham United, Marko) Arnautovic gara-gara dana nggak cukup lagi buat ganti pemain top. Eh, tiba-tiba malah bikin dua gol plus satu asis di dua pertandingan,” cerita Dani.
Selain alasan-alasan di atas, ada pula yang memainkan fantasy football demi mendapat hadiah. Pasalnya, pengelola FPL menyediakan beberapa hadiah yang terbilang wah. Ada konsol, speaker, tablet komputer, hingga VIP trip untuk dua pertandingan Premier League musim berikutnya.
Beberapa komunitas terkadang juga menyediakan hadiah dengan menghelat liga internal. Biasanya, para manajer yang berkeinginan mengikuti ajang ini akan membuat dua hingga lima akun untuk ia sertakan sekaligus ke sejumlah liga. Dengan begini, kemungkinan meraih banyak poin sangat besar.
“Sejauh ini ga mikirin soal hadiah, walaupun ikut di beberapa liga yang nyediain hadiah. Kalo dapat ya syukur, nggak juga ga masalah,” cetus Dani lagi.
Alasan seseorang memainkan fantasy football ini juga pernah menjadi objek penelitian Seunghwan Lee dkk. dalam penelitian berjudul Understanding Why People Play Fantasy Sport. Dalam penelitian itu, ia mengelompokkan beberapa motivasi umum yang kemudian diteliti lebih lanjut.
Motivasi itu di antaranya adalah minat bermain gim, menjadi manajer/pelatih, menyukai olahraga, keinginan mendapat hadiah, berkompetisi, hiburan, ajakan teman/keluarga, berinteraksi dengan peserta lain, hingga menambah pengetahuan.
Rela disiksa fantasy football
Tiga akhir pekan terakhir adalah akhir pekan yang agak merepotkan bagi Julianysah. Sebagai orang yang amat perfeksionis, ia menggeluti FPL dengan super duper serius.
Tiap Sabtu pagi, yang ia lakukan pertama kali adalah mengambil ponsel, lalu melihat info-info seputar Liga Inggris di Twitter atau bahkan sengaja membuka banyak portal berita.
Kegiatan ini bisa memakan waktu dua sampai empat jam sehingga ia kerap melewatkan sarapan pagi. Itu belum ditambah jika ia langsung mengotak-atik FPL-nya. Namun, Juliansyah yang sudah benar-benar ketagihan fantasy football ini seakan tak peduli.
“Lumayan menderita sih, tapi ini demi nilai FPL,” katanya yakin.
Tapi penderitaan Juliansyah belum berhenti sampai di situ. Setelah ia memilah pemain mana yang akan dipilih pada suatu pekan, ia masih harus merasa waswas menanti akan seperti apa performa pemain itu nantinya.
“Kalo performanya bagus, nilainya oke, pasti tenang dan seneng-seneng aja,” ucapnya lagi. “Kalo enggak ya pusing juga.” Ia tertawa.