Buat orang-orang Amerika, para orang tua Asia terkenal sebagai sosok yang sangat menuntut anak-anaknya. Kamu tak boleh mendapat nilai buruk. Kamu juga tak boleh terlalu banyak melakukan kegiatan senang-senang. Kalau kamu melanggar, siap-siap saja kena hajar.
Kamu mungkin pernah melihat meme terkait orang tua Asia yang bunyinya seperti ini: “Facebook? Why don’t you face book and study?”
Semua itu pada dasarnya stereotipe dan orang tua di India mewakili segalanya. Salah satu faktornya adalah keberadaan Bollywood.
Di jagat sinema, Bollywood punya nama yang besar. Ia mungkin tak semegah Hollywood di Amerika sana, tetapi perkembangannya begitu masif.
Film-film Bollywood juga punya fans yang loyal. Lewat medium itulah stereotipe terkait orang tua Asia beredar.
Pernah menonton 3 Idiots (2009) karya Amir Khan? Jika ya, kamu barangkali masih ingat adegan yang melibatkan karakter bernama Raju Rastogi ini.
Karena tekanan dosen dan orang tuanya di rumah, Raju bunuh diri. Ia melompat dari lantai 4 asrama kampus. Untungnya, Raju berhasil selamat.
Adegan itu fiktif tetapi cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi yang terjadi di India. Pada 2010, angka bunuh diri akibat depresi menyentuh 187.000 jiwa, yang sebagian besarnya terjadi pada orang-orang berusia 15–29 tahun.
Video game di India melawan stigma
Hingga sekitar 2000 video game belum benar-benar berkembang di India. Buat mereka, khususnya para orang tua, main game?—?juga kegiatan senang-senang lain?—?adalah aktivitas buang-buang waktu. Yang enggak buang waktu? Ya, belajar, dan ini yang selalu mereka tekankan.
Dalam artikelnya di Business Today, Anand Ramachandran pernah bercerita seperti ini. Di India, tulisnya, menyebut seseorang ‘suka bermain’ sering kali dianggap sebagai penghinaan.
“Bersenang-senang adalah kegiatan yang harus kamu hindari dan kamu cemooh. Itulah mengapa kami bahkan tidak memiliki industri mainan dan video game yang berkembang hingga saat ini,” tulis Ramachandran pada 2011.
Anggapan tersebut beriringan dengan harga perangkat elektronik yang terbilang mahal. Ini terjadi lantaran pemerintah India menerapkan pajak hingga 35% untuk tiap barang elektronik mewah seperti konsol, PC, dan perangkat game sejenisnya.
Mungkin saja sebagian orang mampu membelinya. Namun, jika harus memilih, orang-orang India akan lebih mementingkan biaya pendidikan.
Mereka bahkan rela mengeluarkan berjuta-juta rupee untuk menyekolahkan anak ke kampus kedokteran atau teknik.
Kalaupun memang butuh hiburan, India sudah punya Bollywood. Juga satu lagi: Kriket, olahraga favorit masyarakat India.
Situasi baru berubah manakala smartphone booming. Di India, masyarakat berlomba-lomba untuk membeli gawai keluaran terbaru.
Harga yang cenderung terjangkau jadi faktor utama. Di samping itu, smartphone lebih fungsional ketimbang konsol, misalnya.
Itulah kenapa smartphone berkembang pesat. Mediacells mencatat bahwa India menduduki posisi dua negara dengan penjualan smartphone terbanyak pada 2014. Pertumbuhan smartphone mencapai angka 156 juta pengguna dari populasi penduduk 1,2 milyar.
Pertumbuhan itu lantas membuka pintu bagi perkembangan game mobile. “Meskipun jumlahnya jauh dari yang dibutuhkan untuk menopang industri yang layak, jumlah orang India yang mengunduh dan memainkan game mobile tumbuh luar biasa,” tutur Ramachandran.
Yang terjadi berikutnya adalah efek domino. Lantaran jumlah gamer meningkat, studio-studio game kenamaan mulai menganggap India sebagai pasar potensial. Beberapa bahkan menyelipkan unsur-unsur lokal, seperti yang dilakukan Sony dan Ubisoft.
Dari situ, video game mendadak tenar sekaligus melepaskan diri dari stigma negatif yang selama ini beredar.
Menariknya, perkembangan ini tak hanya bikin India potensial dari segi pasar. Ia juga jadi pemicu lahirnya banyak sekali studio pengembang game lokal.
KPMG menyebut bahwa saat ini India memiliki 275 perusahaan studio game. Angka itu jauh meningkat dari cuma 25 perusahaan pada 2010.
Jumlah pengembang juga membengkak, yang menurut Oliver Jones selaku pendiri Bomba Play, bertambah hingga 15.000 orang dalam kurun 3 tahun.
Tapi kita tak hanya akan bicara dari segi kuantitas. Pada Mei 2019, Rockstar yang terkenal berkat Grand Theft Auto (GTA) melakukan akuisi bakat terhadap studio lokal bernama Dhruva Interactive. Ini jadi bukti bahwa dari kualitas, studio game India juga bisa berbicara banyak.
“Dari apa yang kami lihat, kami telah mencapai titik di mana sebagian besar game AAA yang dirilis tahun ini akan memiliki tim dari India untuk turut kontribusi, baik melalui pembuatan aset, jaminan kualitas, atau konten rancangan,” ungkap Jones.
Satu cela yang membuat perkembangan game di India terlihat sedikit buruk adalah game bajakan yang terbilang masif. Muasalnya, lagi-lagi, masih berkaitan dengan harga.
Game resmi biasanya dibanderol 2000-3000 rupee. Game bajakan, di sisi lain, lebih murah dan bahkan bisa kamu dapatkan gratis.
Meski demikian, eksistensi game bajakan rupanya juga punya peran penting dalam membentuk industri game India saat ini. Vice dalam salah satu artikel pernah mengangkat kisah tersebut.
Di sana mereka sampai pada kesimpulan bahwa banyak developer India yang terinspirasi dari game-game bajakan yang mereka mainkan.
Salah satunya Pavan (nama samaran). Buat keluarganya, game bukanlah hal yang bisa dengan mudah didapatkan. Harganya terlampau mahal.
Belum lagi stigma soal game yang cenderung negatif. Game bajakan akhirnya jadi jalan pintas. Pavan bilang bahwa ia bisa membeli satu game PC seharga 100 rupee saja.
“Game-game itu jadi satu-satunya hal yang membantu saya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman mendalam tentang genre game yang berbeda, yang membantu saya menjadi developer game yang lebih baik hari ini,” ungkapnya.
Game di India hari ini
Hari ini, boleh jadi pembajakan masih ada. Namun, kita tak bisa memungkiri peran penting di baliknya.
Statista mencatat, India termasuk salah satu negara dengan jumlah gamer terbanyak, yakni mencapai sekitar 365 juta orang. Angka itu diprediksi meningkat hingga 500 juta dua tahun mendatang.
Lantas bagaimana dengan stigma negatif? Seperti pembajakan, eksistensinya juga masih ada. Dua tahun lalu, seorang bocah bernama Kallakuri Sambashiva bunuh diri setelah ibunya melarang main PUBG Mobile.
Sang ibu beralasan bahwa game bikin anaknya malas. Di sisi lain, ujian bahasa Inggris akan segera tiba.
Beberapa kota di India, terutama negara bagian Gujarat, memang sempat melarang keras PUBG. Sejak berlaku sudah puluhan remaja ditangkap polisi karena melanggar aturan tersebut.
Namun, pada hari-hari belakangan, pelan tapi pasti masyarakat India mulai membuka diri.
Pidato singkat Perdana Menteri India Narendra Modi dalam salah satu acara di New Delhi jadi gambaran pas atas kondisi tersebut.
Waktu itu, ia menyebut-nyebut PUBG Mobile. Ini seperti simbol bahwa setelah cukup lama berada di tepi, video game mulai mendapat tempat untuk berdiri di panggung utama.