Istilah ‘kac*k’ dalam Parakacuk adalah berhubungan seks. Seperti itu maknanya dalam bahasa Palembang. Inilah yang lantas saya tanyakan pertama kali kepada Reza Febri Nanda selaku CEO Gamecom Team, studio di balik hadirnya game tersebut, dalam sebuah sesi wawancara.
“Soal nama nih. Dalam bahasa Palembang…” Kalimat saya belum selesai, Nanda langsung merespons dengan tertawa kencang.
“Hahahaha.. iya, saya udah tahu itu. Tapi kami enggak berangkat dari sana kok. Parakacuk itu nama geng saya pas masih SMK. Saya dulu sempat punya geng. Di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga ‘Parakacuk artinya ‘para pembuat kekacauan’.”
Makna dalam KBBI itu sesuai dengan tema yang memang ingin Gamecom angkat di Parakacuk.
Alkisah, seorang siswa bernama Budi baru saja pindah sekolah. Rupanya, sekolah itu dikuasai oleh sekelompok geng. Tugas Budi adalah mengambil alih kekuasaan tersebut lewat geng yang dia dirikan. Dengan begini, Budi mesti terlibat di banyak sekali pertarungan.
Untuk mengemasnya ke dalam game, Parakacuk mengusung genre 3D beat’em up. Akan terlihat banyak pertarungan mirip adegan tawuran anak sekolah. Mulai dari adu jotos dengan tangan kosong sampai menggunakan benda tertentu seperti kayu dan gear motor.
Masuk akal jika kemudian Gamecom mengkategorikan Parakacuk sebagai game khusus dewasa (17 tahun ke atas). Apalagi, selain adegan kekerasan, beberapa umpatan kasar juga kerap terdengar. Gamecom bahkan sudah menyelipkan disclaimer di bagian awal yang berisi peringatan.
Saya lantas bertanya. “Sekarang di Indonesia ada sistem rating khusus game sendiri yang namanya Indonesia Gaming Rating System (IGRS). Berarti Parakacuk bakal didaftarin dulu ke sana buat nyesuain batasan usia dan segala hal sejenisnya?”
“Sejak bikin A Day Without Me (game pertama Gamecom), kami udah sempet ngontak IGRS. Sempet kirim game juga. Tapi enggak ada respons. Jadi kami pikir IGRS belum memadai untuk itu, meski kami enggak menutup kemungkinan buat ke sana,” jawab Nanda.
“Terus seberapa yakin Gamecom soal kemungkinan game ini bakal dimainin sesuai kategori usianya?” tanya saya lagi.
“Saya enggak bisa jamin. Tapi dengan ngasih disclaimer sejak awal, kami sudah berusaha tegas untuk memberi batasan supaya anak-anak enggak main. Lagi pula di masa sekarang para orang tua udah melek teknologi. Jadi mereka bisa milah mana yang baik dan mana yang enggak buat anaknya.”
“Kami juga punya keinginan untuk menyadarkan orang-orang bahwa game enggak cuma buat anak-anak. Parakacuk jadi cara kami untuk nunjukkin itu. Yang kami bikin ini, Parakacuk, bener-bener spesifik buat pemain atau orang-orang yang udah dewasa.”
Penamaan game, adegan kekerasan, hingga berbagai macam umpatan tadi adalah perwujudan dari keinginan tersebut. Bahkan, nama sekolah yang jadi latar tempat di dalam game juga menggunakan istilah kasar di beberapa daerah tertentu: SMK 69 ‘Jancuk’.
Sekolah itu sendiri, kata Nanda, terinspirasi dari SMK-nya di Pacitan, Jawa Timur, dulu. Di tempat itulah Nanda mengenyam pendidikan software enginering. Di tempat itu pula, dia bertemu beberapa kawan yang pada akhirnya bersama-sama mendirikan Gamecom Team.
“Ada alasan khusus ngasih nama Gamecom?”
Nanda cuma tertawa. Sejurus kemudian, dia mengatakan sesuatu yang bikin saya ikut tertawa kencang. Dia bilang, Gamecom itu cuma singkatan dari bahasa Inggris-nya perusahaan game: Game dan Company. Singkatan ini diambil karena mereka sempat bingung mencari nama.
“Akhirnya ada yang ngusulin buat gabungin istilah game dan company yang artinya perusahaan game jadi Gamecom. Tapi semakin ke sini, kedengarannya kayak keren aja,” jelas Nanda.
Orang-orang bisa menganggap Gamecom sekadar perusahaan game ‘suka-suka’ karena penamaannya yang terkesan asal jadi. Terlebih, semua kru Gamecom memang masih terbilang muda. Nanda yang berstatus CEO saja masih berusia 22 tahun.
Namun, cara mereka dalam menjalankan tiap proyek sangat berbeda dengan alasan penamaan perusahaan tadi. Untuk semua hal yang mereka pilih, segala sesuatu yang akhirnya mereka jalankan, Gamecom selalu punya perencanaan matang dan terarah.
Ketika semua kru lulus dari SMA, misalnya, mereka tak lantas langsung meneruskan Gamecom. Nanda dan kawan-kawannya sadar bahwa mereka belum memiliki banyak hal mendasar untuk bersaing di industri game. Mereka tak punya pengalaman yang cukup, lebih-lebih modal.
“Berarti mencar dulu, ya?”
“Iya, mencar dulu, termasuk saya yang akhirnya kerja di studio game lain. Ada juga yang kuliah. Intinya cari pengalaman dulu sampai kira-kira empat tahun,” jawab Nanda.
Beruntung, Nanda dan rekan-rekannya hidup di masa ketika teknologi sudah sangat maju. Meski berada di tempat berbeda, mereka masih menyempatkan diri untuk saling bercakap via suara. Pada tiap Sabtu dan Minggu, Gamecom menggarap proyek sampingan hingga jadilah A Day Without Me (2020).
Ada dua hal yang lantas Gamecom dapatkan setelah game itu lahir. Pertama, nama mereka mulai mendapat perhatian sebagai salah satu studio game lokal menjanjikan. Apalagi A Day Without Me terbilang sukses. Mengangkat tema kesendirian, game itu mendapat banyak respons positif.
Kedua, yang juga tak kalah penting, mereka bisa mengumpulkan modal berkat keberadaan A Day Without Me. “Dari situ kami akhirnya bener-bener serius bikin Gamecom Team sebagai perusahaan game, jadi PT, sampai sekarang,” kata nanda.
Gamecom sebetulnya berencana mengangkat tema depresi akibat pekerjaan untuk game kedua. Namun, karena modal yang diperoleh cukup banyak, mereka memasang rencana dan target yang lebih ambisius, yakni dengan menggarap game action.
Menurut Nanda, target itu mereka sebut ambisius karena menciptakan game aksi lumayan rumit. Itulah mengapa Gamecom tak langsung menggarap game dengan genre tersebut sejak awal dan lebih memilih untuk membuat game puzzle seperti A Day Without Me tadi.
“Harusnya kami bikin game action sejak awal tapi karena belum punya pengalaman, belum punya modal yang cukup juga, akhirnya kami bikin A Day Without Me. Tapi sebetulnya kami memang pengen bikin game action,” kenang Nanda.
Dari situlah muasal lahirnya Parakacuk.
“Kami sempat diskusi soal tema utamanya dulu. Ada jaman pertengahan, ada yang temanya monster. Tapi akhirnya kami balik ke hal yang menurut kami pribadi seru. Kebetulan, kayak yang saya bilang tadi, pas SMA kami punya geng Parakacuk,” ucap dia.
“Berarti Parakacuk murni berasal dari ide personal Gamecom?” saya iseng bertanya.
“Mungkin 50:50, ya. Terlepas dari keinginan pribadi, kami juga melihat kondisi pasar pastinya, karena pada akhirnya pasar yang menentukan bagus-enggaknya game ini nanti. Pas udah rilis demo kemarin, kami juga berusaha melihat semua review yang masuk, entah positif atau negatif,” jawab Nanda.
Di Instagram resmi Gamecom, tertulis bahwa mereka ingin menjadi developer game terbaik di dunia. Keinginan untuk mendengar semua review yang masuk, juga segala hal terkait perencanaan matang dan ambisius mereka, adalah cara Gamecom untuk mewujudkan misi besar tersebut.
Lantas, seberapa yakin Gamecom untuk bisa meraihnya?
“Sangat yakin. Melihat gimana kerja keras semua tim, gimana kami bisa mendirikan perusahaan game bener-bener dari nol, gimana kami akhirnya dikenal banyak orang adalah proses yang bikin saya semakin yakin bisa mewujudkannya,” tegas Nanda.
Sembari mewujudkan misi besar itu, Nanda juga punya misi lain yang tak kalah besar. Lewat Gamecom Team, dia ingin membuat orang-orang bisa selalu bersenang-senang lewat game sebab pada dasarnya, seperti itulah esensi game diciptakan.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up Steam Wallet termurah se-Indonesia di itemku! Jangan lupa juga untuk gabung dan ikutan tebak skor hasil pertandingan MPL ID Season 7 di Forum itemku.