Jika menginjakkan kaki di Katowice belasan tahun lalu, kita akan merasakan suasana khas kota industri pertambangan: Tua, penuh debu, polusi di mana-mana, usang.
Kota yang terletak di sebelah selatan Polandia itu memang dibangun sebagai area tambang sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Pada sebagian besar wilayah, cadangan batubara tertanam dalam jumlah yang seolah takkan habis saking banyaknya. Para penduduk pertama bahkan mendatangi Katowice cuma demi satu tujuan: Batubara.
Tak heran jika Katowice seperti kota yang membosankan. Perusahaan-perusahaan tambang tersebar di sejumlah titik. Arsitektur yang terpasang pada sebagian besar bangunan kota cenderung seragam dan tak beda dengan kota di Eropa Timur lainnya. Kesannya sangat Stalinis yang menunjukkan status Polandia sebagai bekas jajahan Uni Soviet.
Sekarang, Katowice berganti muka. Muasalnya adalah pemerintahan komunis yang lengser pada akhir 80-an. Momen ini memicu banyak perubahan di Katowice. Salah satunya dengan mengubah imej kota tambang yang selama ini melekat. Jika dulu Katowice terkenal sebagai kota yang penuh polusi, mereka ingin mengubahnya sebagai kota hijau.
Wakil Walikota Katowice, Mariusz Skiba, mengatakan, pemerintah coba melakukan hal itu melalui strategi ‘Ekonomi Karbon Rendah untuk Katowice’. Rumusan itu terbagi ke dalam beberapa pilar utama, yaitu bantuan bagi masyarakat kurang mampu, pelaksanaan peraturan baru, investasi, dan edukasi pro lingkungan.
Butuh biaya tak sedikit untuk mewujudkannya. Apalagi, pemerintah menerapkan kebijakan untuk menurunkan emisi melalui larangan asap dan pembatasan harga batu bara secara drastis. Namun, pengorbanan itu berbuah hasil karena kini Katowice benar-benar berubah menjadi kota hijau, yang bahkan disebut sebagai salah satu kota terhijau di Polandia.
Faktor itu yang kemudian jadi alasan Katowice terpilih sebagai kota penyelenggara Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of Parties (COP) UNFCCC ke-24, 2018.
Satu masalah sudah teratasi. Berikutnya adalah bagaimana cara mengundang sebanyak mungkin orang untuk berdatangan ke sana. Idenya sederhana, semakin banyak yang datang, maka taraf ekonomi bakal ikut menanjak. Ini yang mendasari lahirnya Intel Extreme Masters (IEM), turnamen esports Counter Strike: Global Offensive terbesar di dunia.
Menurut Walikota Katowice Marcin Krupa, IEM berasal dari gagasan eks anggota dewan yang bernama Michael Jerzejek pada 2012. Ini ide yang ekstrem mengingat esports masih tergolong barang baru. Krupa bahkan mengatakan bahwa sulit membayangkan ada walikota yang berani berinvestasi banyak pada hal yang belum teruji.
Saking belum terujinya, John Gaudiosi dari PC World pernah bercerita bahwa media-media ternama seperti ESPN dan Mashable begitu memandang rendah esports. Mereka menilai esports cuma sekadar iseng-iseng belaka dan bukanlah bisnis yang menjanjikan.
Namun, sebagaimana dilansir Venturebeat, Piotr Uszok selaku walikota Katowice aktif kala itu menyetujuinya. Pada 2014 IEM akhirnya mulai bergulir lewat kemitraan resmi dengan perusahaan teknologi Intel. Sebuah perjudian yang berujung sukses. Sejak pertama kali berlangsung, IEM telah memberikan banyak hal buat Katowice.
IEM sebetulnya adalah rangkaian turnamen esports yang digelar di banyak negara. Turnamen yang dibawahi langsung oleh induk esports dunia ini (ESL) menggelar babak penyisihan hingga tengah musim di kota-kota seperti Chicago, Shanghai, dan Sydney. Ketika memasuki babak final, barulah Katowice menjadi tuan rumahnya.
Persisnya di Spodek Arena. Setiap tahun, para pro player top dari Amerika, Asia, Afrika, hingga Eropa berdatangan menuju gedung multifungsi yang tadinya sisa-sisa lahan pertambangan itu. Yang mereka perebutkan di sana bukan hanya hadiah dengan total mencapai 1 juta dolar Amerika, tetapi juga gengsi karena bertarung di turnamen terbesar di dunia.
Spodek Arena sendiri punya kapasitas 11.000 orang. Itulah mengapa direktur pelaksana pro gaming di ESL, Michal Blicharz, sempat pesimistis seluruh kursi bakal terpenuhi. Terlebih, turnamen esports terbesar yang pernah ESL selenggarakan di luar Katowice sebelumnya hanya mampu menjual 1000 tiket pada tiap harinya.
“Saya pikir bisa mendatangkan 3000 orang saja sudah sukses besar, meski bahkan belum berisi setengahnya,” kata Blicharz kepada PC World.
Dugaan itu tak terbukti karena para penggemar justru tampak sangat antusias. Menurut Blicharz, satu jam sebelum pertandingan pertama berlangsung seluruh kursi sudah terisi penuh.
“Bahkan masih ada sekitar dua hingga tiga ribu orang yang mengantri di luar dalam cuaca yang sangat dingin,” kenang dia.
Masuk akal jika kemudian jumlah penonton IEM terus meningkat dalam jumlah drastis pada tiap penyelenggaraannya. Pada 2013, tercatat ada 50.000 penonton yang hadir. Angka itu meningkat menjadi 104.000 pada 2015 dan 113.000 pada 2016. Alhasil, mereka mesti membangun gedung tambahan di sebelah Spodek Arena.
“Ini memungkinkan kami untuk memperpanjang turnamen untuk para penggemar di setiap pertandingan tanpa membuat rangkaian jadwal padat di stadion,” jelas George Woo, manajer pemasaran Intel.
Membludaknya pengunjuk ujung-ujungnya berdampak terhadap misi besar pemerintah: Banyak orang mengunjungi kota, pendapatan meningkat. Ketika IEM 2019 berlangsung, 174.000 orang datang (lebih dari setengah populasi Katowice yang ‘cuma’ 300.000). The Esports Observer juga melaporkan bahwa IEM menghasilkan nilai iklan sebesar 24,5 juta dolar untuk Katowice.
Luke Winkie dari Venture mengumpamakan Katowice seperti miniatur Comic-Con ketika IEM berlangsung. Sebab di sana akan mudah kita temui pameran teknologi dari berbagai perusahaan ternama di dunia. Ini menjadi daya tarik lain yang semakin mengundang banyak orang untuk datang, bahkan sebagian di antaranya berasal jauh dari Katowice.
“IEM berarti pendapatan bagi masyarakat lokal: Hotel, restoran, taksi, dan pengusaha lokal lain. IEM adalah salah satu acara yang membantu hotel dan fasilitas konferensi berkembang,” papar Krupa.
Di mata dunia, Katowice lantas dikenal sebagai ibukota esports Counter Strike. Krupa pernah merasakan buktinya secara langsung ketika dia berkunjung ke Stavanger, Norwegia. Waktu itu sekelompok pemuda mendatangi Krupa dan bertanya dari mana asalnya. Tanpa bla bla bla Krupa langsung menyebut Katowice dan Polandia.
“Mereka akhirnya bertanya apakah saya tahu apa itu IEM sehingga kami mulai berbincang,” ujar Krupa.
Yang Krupa alami adalah gambaran bahwa wajah Katowice telah berubah sepenuhnya. Tak ada lagi kota industri pertambangan yang tua, penuh polusi, usang, dan membosankan. Rafael Trybus, pendiri Katowice Gaming House, sampai berkata bahwa dia tak lagi memandang dirinya seseorang yang berasal dari kota industri.
“Saya orang yang berasal dari kota esports,” tegas Trybus.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up Steam Wallet termurah se-Indonesia di itemku!