Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Tamara Slanova selaku pendiri Dmarket sudah memprediksi bahwa di masa depan industri game akan bertumpu pada microtransaction.
“Di masa depan, akan sangat banyak game yang tersedia secara gratis. Maka, satu-satunya cara bagi developer untuk mendapatkan keuntungan adalah lewat penjualan item-item yang tersedia di dalam game mereka, sebutlah kostum di dalam game atau skin untuk senjata,” kata Slanova.
Secara singkat, microtransaction adalah sistem yang memungkinkan gamer untuk membeli kebutuhan atau item tertentu di dalam game dengan uang sungguhan. Bentuknya bermacam-macam: Bisa senjata, kostum, karakter, season pass, dan berbagai fitur premium lainnya.
Sistem ini sudah ada sejak game MMORPG ramai pada awal 2000-an, bersamaan dengan praktik real money trading yang memang tengah marak. Namun, ia mulai tenar begitu Bathesda merilis The Elder Scrolls IV: Oblivion untuk PC dan Microsoft Xbox 360.
Sebelumnya, Microsoft juga sudah mengenalkan sistem tersebut sebagai fitur premium di Xbox 360. Microsoft memandangnya sebagai cara paling terbaik agar gamer bisa membeli barang yang memang sesuai dengan keinginannya. Harganya bisa lebih murah ketimbang membeli konten berbentuk bundel.
Jadi, misalnya, gamer cukup mengeluarkan 5 atau 10 dolar untuk barang yang benar-benar mereka inginkan, bukan 20 dolar untuk bundel atau set barang yang bisa saja hanya akan mereka gunakan sebagian di antaranya.
Ide itu juga yang ingin Bathesda terapkan di Oblivion. Tak lama setelah game itu hadir, mereka merilis baju besi alternatif untuk kuda di dalam game. Mereka menamainya Horse Armor Pack. Harganya 200 Microsoft Points (2,5 dolar) di Xbox 360 dan 1,99 dolar untuk PC.
Mula-mula tak ada masalah sebab para penggemar menyambut baik. Apalagi, Bathesda amat piawai dalam membentuk citra bahwa yang mereka lakukan pada Oblivion adalah guna memudahkan gamer sekaligus membuat game lebih menarik. Jangan lupa, seri ini juga sudah punya penggemar setia.
Namun, semakin lama, banyak yang mulai mengeluh. Bathesda, di sisi lain, tetap berpegang pada rencana mereka dengan merilis berbagai item lain seperti rumah baru, penjara bawah tanah baru, mantra baru, dan sederet item microtransaction terbaru lainnya.
Dari situ kemudian terkuak bahwa Bathesda hanya berdasar pada bisnis belaka. Lewat microtransaction, tujuan mereka murni demi meraup keuntungan.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan penerapan microtransaction. Pasalnya, sistem ini merupakan sistem yang muncul sebagai salah satu model bisnis terbaru industri game. Yang jadi masalah, Oblivion adalah game berbayar. Untuk memainkannya, gamer mesti mengeluarkan uang hingga 60 dolar.
Dengan begini, gamer mesti merogoh kocek double: Untuk membeli gamenya sekaligus membeli item-item yang tersedia.
Bukan hanya Bathesda
Bathesda hanyalah satu dari banyak sekali pengembang yang juga melakukan hal serupa pada game AAA berbayar. Selain mereka, masih ada Electronic Arts dan Activision, yang memang dibenci gamer karena menyematkan fitur berbayar yang harganya bisa mencapai setengah harga game.
Pada 2020, Activision bahkan berhasil meraup keuntungan hingga 1,2 miliar dolar Amerika Serikat hanya dari microtransaction. Maka rasanya tak ada alasan lain mengapa para publisher tersebut menerapkan sistem ini selain demi merogoh kocek gamer sedalam-dalamnya.
Bahkan, yang lebih parah, ada game yang seolah memaksa gamer untuk membeli item-item yang tersedia. Biasanya, konsep ini diterapkan dengan mempersempit area bermain, membuat kelangkaan item, hingga memberi paywall untuk bisa mengakses level terbaru.
Para gamer menyebutnya ‘Pay to Win’: Mereka yang membayar lebih bisa mudah menamatkan game.
Walau begitu, tak semua microtransaction dianggap buruk. Beberapa gamer justru sangat menyukai sistem ini, tetapi hanya pada game tertentu.
Pertama, game yang sifatnya free to play alias bisa diakses secara gratis?—?terlepas dari akses intentet tentu saja. Kedua, item yang tersedia tidak benar-benar memengaruhi gameplay. Dengan kata lain, gamer hanya akan membelinya jika ia tertarik.
Yang seperti itu biasa kita jumpai di game MOBA, battle royale, dan game online multiplayer sejenisn. Game dari genre-genre ini, pada umumnya, memang tersedia secara gratis. Item yang bisa dibeli juga sekadar kosmetik yang tak bakal memberi kelebihan tertentu buat gamer.
Pernah main Overwatch? Itu salah satu game dengan contoh penerapan microtransaction yang tepat karena tak merugikan gamer. Kita juga bisa menemuinya di game-game lain seperti Counter Strike: Global Offensive, DOTA 2, League of Legends, Fortnite, hingga Team Fortress.
Tentu, developer dan publisher dari game-game itu meraup banyak keuntungan dari microtransaction. Fortnite, misalnya, meraih 2,4 miliar dolar hanya dari penjualan item. Namun, tak ada yang salah di sini sebab Fortnite adalah game gratis dan item-item yang tersedia tidak bersifat memaksa.
Yang jadi masalah adalah jika game tersebut berupa game AAA yang untuk memainkannya saja perlu duit tak sedikit. Sebab, seperti kata Slanova, pada dasarnya microtransaction adalah alternatif bisnis atau cara mencari keuntungan bagi pembuat game.
Kalau mau menjual game berbayar, itu saja yang dimaksimalkan. Jika hendak menerapkan microtransaction, berarti game-nya mesti tersedia secara gratis dan tak memaksa. Tak boleh berbarengan.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up UC PUBG termurah se-Indonesia di itemku!