Di jagat sinema, genre horor ibarat ponsel Nokia pada masa jayanya. Ada begitu banyak film dari genre ini yang bertebaran di layar lebar. Jepang bukan pengecualian. Namun, fakta bahwa Sweet Home (1989) yang jadi inspirasi lahirnya Resident Evil bakal sedikit mencengangkan.
Jepang jauh lebih akrab dengan film-film horor semisal Ring, Dark Water, hingga Kuroneko. Judul-judul itulah yang biasanya akan keluar dari mulut orang-orang Jepang tiap kali bicara soal film horor lawas. Sweet Home, sementara itu, tidak populer dan bahkan jauh dari kata sukses.
Kesannya jadi sedikit paradoks mengingat sutradaranya adalah Kiyoshi Kurosawa, salah satu sutradara film horor Jepang terbaik. Sejak akhir dekade 1980-an hingga awal 2000-an, sederet film sukses berasal dari tangan dinginnya. Mulai dari Cure, Pulse, hingga Loft.
Lewat film-filmnya, Kurosawa menunjukkan bahwa horornya adalah horor yang beda. Ia tak menakuti penonton dengan rentetan jumpscare. Horornya tak berpusat pada atmosfer, melainkan pada karakter, pada manusia, dan karena itu film-film horor Kurosawa terasa lebih mendalam dan dekat.
Sweet Home sama sekali tidak seperti itu. Film ini lebih serupa film-film horor Barat. Jika kamu pernah menonton Poltergeist (1982), rupanya kira-kira demikian.
Kisahnya klise: Sekelompok kru film mendatangi rumah tua untuk membuat film dokumenter. Setelah memasuki rumah tersebut, berbagai teror datang bermunculan. Ada hantu bertubuh raksasa, mayat hidup, beriringan dengan jumpscare yang seolah tak berujung. Inilah ‘Sweet Home’.
Dalam beberapa wawancara setelah rilis pada 1989, Kurosawa mengungkapkan bahwa yang bikin film itu buruk adalah campur tangan produser. Tak heran jika Kurosawa ikut kecewa. Maka kalau ada satu judul yang ingin segera dia lupakan, sudah jelas itu Sweet Home.
Namun, di balik namanya yang buruk dalam sejarah perfilman, Sweet Home ternyata adalah muasal dari lahirnya salah satu waralaba game terbesar di dunia: Resident Evil.
Semua bermula dari keberadaan orang penting Capcom, Tokuro Fujiwara, yang memang punya kedekatan dengan Kurosawa. Ia juga berkawan dengan Juzo Itami, sang produser.
Sementara dua koleganya itu menggarap Sweet Home, Fujiwara sibuk mengembangkan game Famicom (konsol keluaran Nintendo) dengan judul serupa.
Fujiwara mengatakan bahwa Kurosawa dan Itami punya peran cukup banyak selama proses pengembangan. Ia selalu diizinkan melihat proses syuting. Selain itu, Kurosawa dan Itami juga aktif memberikan masukan. Nama keduanya bahkan tertulis sebagai desainer di bagian kredit.
“Saya menonton filmnya dan melakukan kunjungan selama syuting, lalu menangkap apa pun yang saya pikir bisa diadaptasi ke dalam game. Saya mempertimbangkan dengan cermat bagaimana membawa elemen dari film ke layar video game,” kata Fujiwara dalam wawancaranya dengan majalah Jepang, Continue.
Fujiwara sudah pernah memimpin beberapa proyek penting Capcom. Karyanya yang paling terkenal adalah Ghosts ‘n Goblins dan Bionic Commando. Namun, Sweet Home yang tengah ia kembangkan kala itu adalah game yang sama sekali berbeda.
Dari segi judul, kesannya terdengar sinematik, beda dengan game lain pada masanya. Game ini juga dengan cermat menghadirkan beberapa karakter film dengan kemampuannya masing-masing. Yang berbeda adalah sosok hantu yang di rumah dalam game ini berupa seekor monster.
Premisnya, gamer harus membawa karakter game keluar dari rumah berhantu tersebut dalam kondisi hidup. Dengan premis dan pembawaan demikian game ini tampak lebih sukses ketimbang versi filmnya meski kita tak pernah melihatnya rilis di luar Jepang.
Empat tahun berselang, PlayStation edisi pertama rilis. Teknologi yang dibawa konsol terbaru garapan Sony ini menginspirasi Fujiwara untuk menggarap proyek berbeda. Namun, ia tetap bertumpu pada ide semula: Game horor. Secara spesifik, ia ingin mengikuti konsep Sweet Home.
“Ide dasarnya adalah karena saya dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat saya sertakan di Sweet Home, terutama pada aspek grafis yang sempat membuat saya frustrasi. Saya juga yakin bahwa game horor bisa menjadi genre tersendiri,” tutur dia.
Geme dengan genre horor sama sekali belum populer kala itu. Bahkan boleh jadi tergolong sebagai genre yang langka. Beberapa game memang pernah mengusung hal serupa tetapi tak ada yang sukses di pasaran dan hanya sedikit yang benar-benar memposisikan diri sebagai game horor.
Lagi pula, video game kala itu masih sangat identik dengan anak-anak sehingga sulit sekali membayangkan genre horor bisa sukses. Itulah mengapa Shinji Mikami, rekan Fujiwara selama pengambangan, sempat tak yakin game bikinan mereka bisa sukses di pasaran.
“Dia ingin kami membuat game horor menggunakan sistem dari Sweet Home, yang merupakan game horor untuk Famicom yang dia rancang sebelumnya,” kata Mikami kepada Gamespot.
“Saya sebenarnya penggemar berat Sweet Home, sedangkan dia adalah seseorang yang sangat saya hormati. Jadi, tentu saya sangat senang dengan proyek ini sejak awal. Tapi saya sedikit khawatir soal apakah game horor bisa laku,” sambung dia.
Yang Mikami ungkapkan pada akhirnya cuma kekhawatiran belaka. Ketika akhirnya rilis pada pertengahan 1996, game horor bikinan mereka itu, yang kelak dikenal sebagai pemicu maraknya game survival-horor pada akhir 90-an, sukses besar.
Kita mengenalnya sebagai Resident Evil (Biohazard di Jepang). Hingga hari ini sudah ada puluhan judul dengan Resident Evil Village sebagai judul terkini yang akan segera rilis. Seperti sebagian besar judul sebelumnya, game ini diprediksi bakal meraih kesuksesan komersil maupun kritis.
Dan untuk semua kesuksesan itu, Fujiwara dan kita semua para penggemar patut berterima kasih pada Sweet Home.