Hampir setiap kali bermain video game favoritnya, Jenny Haniver bakal berhadapan dengan ragam hujatan seksis. Ia tak lupa, takkan pernah lupa semua ucapan brengsek yang sebagian besar berasal dari laki-laki yang tak pernah ditemuinya itu.
“Sana ke dapur, lepaskan tanganmu dari kontroler game.”
“Dasar pel**ur gendut!”
“Semoga pacarmu bisa mengalahkanmu. Ah, kamu enggak bisa mendapatkan pacar.”
Dan sebagainya.
Beberapa ocehan itu hanya bikin Haniver tergelitik. Namun, perlu dicatat bahwa tak semua orang mampu menanggapi komentar bernada melecehkan di game seperti Haniver. Lagi pula pelecehan seksual atau komentar bernada seksis lainnya adalah hal yang tak bisa dibiarkan terjadi. Haniver sepakat.
Nahasnya, video game belum mampu lepas dari hal tersebut.
Jagat game online adalah tempat yang paling banyak menjadi sumber berkumpulnya komentar-komentar seksis dan melecehkan. Bentuknya bermacam-macam, termasuk seperti yang Haniver alami. Tak sedikit yang bahkan menerima kiriman gambar berisi kemaluan laki-laki.
Beberapa perempuan yang mengalami hal ini sampai menderita trauma. Sebagian lagi sampai hendak menyembunyikan identitas mereka karena khawatir mengalami pelecehan dan ucapan bernada seksis. Gamer sekaligus streamer Twitch asal Inggris, Leahviathan, adalah salah satunya.
“Saya sering bikin video promosi dan kerap mendapat respon bahwa saya ada di industri ini hanya karena rebutuhan representasi belaka, karena saya perempuan, bukan karena saya jago main game,” ucap Leahviathan yang mengaku pernah menyesal mengungkapkan jenis kelaminnya ke publik.
Lewat riset yang dirilis belum lama ini, Reach3 mengungkapkan ada 59% dari 900 gamer perempuan yang sengaja menyembunyikan identitas mereka. Penyebabnya sama: Khawatir menerima pelecehan seksual dan berbagai komentar seksis di video game.
Salah seorang gamer perempuan pernah berkata bahwa ia sering kali bermain sebagai karakter pria di game Massively Multiplayer Online Role Playing Game (MMORPG).
“Kami mencoba menyembunyikan siapa kami sehingga orang lain tidak menggoda kami, mengirim kami barang dan mengirimkan pesan atau gambar yang benar-benar tidak kami inginkan,” tutur perempuan tersebut, dilansir Game Industry.
Tak cuma terjadi di dalam game, lingkungan perusahaan video game tak lepas dari kondisi ini. Malah, beberapa kasus juga melibatkan para laki-laki. Jurnalis Cecilia D’Anastasio dalam investigasinya berhasil menyelidiki peristiwa ini. Salah satu kasus yang ia ungkap terjadi di Riot Games.
Modusnya relatif serupa. Beberapa pekerja mendapat kiriman foto kelamin laki-laki dan ajakan bercinta dari para petinggi dan pekerja lain di studio tersebut. Makin parah lagi, salah seorang petinggi Riot Games pernah dengan sengaja memegang alat kelamin beberapa pekerja laki-laki di sana.
Kondisi seperti ini kian memprihatinkan jika kita melihat kembali tahun lalu. Sekitar Juli, ada lebih dari 70 pekerja industri game, baik laki-laki mau pun perempuan, yang menceritakan pelecehan dan kekerasan seksual yang pernah mereka alami lewat Twitter, Youtube, hingga Twitch.
Banyak yang masih mewajarkan pelecehan seksual
Tatkala ada yang buka suara terkait pelecehan seksual, masih banyak yang menyepelekannya. Malah, sebagian di antaranya memberikan dukungan untuk si pelaku, termasuk saat muncul gerakan #MeToo untuk melawan tindak pelecehan seksual di industri hiburan.
Salah satu kasus pelecehan seksual yang terungkap lewat gerakan itu melibatkan Alec Holowka, developer Night in the Woods. Tak lama setelah muncul tuduhan yang mengarah kepadanya, ia bunuh diri. Segera setelah itu, opini-opini bertentangan makin banyak bermunculan. Para korban yang membuka kasus itu dianggap telah ‘menghancurkan kehidupan’ seseorang.
Yang terjadi pada kompetisi esports Cross Assault 2012 lebih parah. Seorang player Tekken, Aris Bakhtanians, mengomentari player lain, seorang perempuan bernama Miranda Pakozdi. Dalam tayangan yang disiarkan secara langsung, ia menebak ukuran bra Pakozdi, mengomentari bagian tubuh, bahkan mengendusnya.
Masih dalam siaran tersebut, Baktanians sampai berkata bahwa pelecehan seksual adalah bagian dari budaya komunitas game. Ia juga mewajarkan penggunaan istilah ‘rape’ untuk mengalahkan lawan.
“Tidak ada yang tak bisa diterima dari itu. Kita di Amerika, kawan. Ini bukan Korea Utara. Jadi kita bebas mengatakan apa yang kita inginkan,” ucap dia berapi-api.
Bakhtanians sudah merilis permintaan maaf kepada Pakozdi tetapi insiden itu sudah memicu perdebatan di mana-mana. Beberapa orang, menyedihkannya, justru sepakat dan mendukung player tersebut. Kian parah lagi karena ada perempuan yang juga memberikan dukungan kepada Bakhtanians.
“Sebagai seorang wanita, kamu tidak boleh marah saat muncul komentar tidak senonoh jika kamu nongkrong di ruangan yang dipenuhi laki-laki. Ini kayak kamu pergi ke tempat striptease sebagai perempuan dan marah karena ada yang telanjang,” tutur Jonathan Quamina, seorang gamer.
Upaya mewajarkan seperti inilah yang bikin pelecehan seksual masih sangat marak hingga kini.
Claudy Jacob dari Never Okay Project punya pendapat lain. Ia mengatakan, industri game memang jadi sarang kekerasan seksual. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan akun anonim. Lewat akun ini, para pelaku bisa bebas berkata apa saja sembari bersembunyi di balik akun tersebut.
Di sisi lain, kata dia, masalah ini juga muncul karena kurangnya kesadaran dan pemahaman para gamer. Tak heran jika para korban malah bisa mendapat serangan balik setelah mengungkapkan pelecehan yang menimpanya, seperti yang terjadi pada Pakozdi.
Dampaknya? Banyak yang takut buka suara.
Mendukung dan melindungi para penyintas
Belum ada langkah inisiatif tegas dan konkret di industri video game untuk memberantas pelecehan seksual. Dengan begini, salah satu yang bisa dilakukan adalah mendukung sekaligus melindungi para korban.
Upaya tersebut penting sebab buka suara terkait pelecehan seksual yang dialami sendiri adalah perkara sulit. Banyak yang mesti dikorbankan. Menurut Jacob, banyak yang takut victing blaming dan khawatir masa depan mereka terganggu, misalnya kehilangan pekerjaan atau dikeluarkan dari sekolah, karena mengungkapkan apa yang mereka alami.
Dukungan dan perlindungan tadi bakal bikin korban berani buka suara sekaligus membantu menguatkan mereka. Dan karena ada yang buka suara, semakin banyak korban lain yang bakal turut buka suara. Efeknya beruntun dan ini adalah hal positif. Apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir adalah contohnya.
Salah satu pelaku, Chris Avellone, dikeluarkan dari studio game tempatnya bekerja tak lama setelah korbannya buka suara. CEO Online Performers Group, Omeed Dariani, mengundurkan diri dari jabatannya setelah tuduhan pelecehan seksual yang ia lakukan terkuak di Twitter. Ashraf Ismail, direktur kreatif Assassin’s Creed: Valhalla, juga mengundurkan diri karena hal serupa.
Meski begitu, Kishonne Gray, profesor studi gender dan wanita di University of Illinois, menilai bahwa ini tak cukup. Pemecatan atau pun pengunduran diri tak lebih dari upaya menenangkan publik. Profesor humaniora dan studi media dari universitas yang sama, Carly Kocurek, juga sepakat. Mereka menilai perlu adanya kebijakan yang lebih mendasar untuk memutus rantai ini, dan itu bisa dimulai dari diri sendiri.
“Jika Anda tidak secara aktif mencoba mengubah hal-hal ini, tidak akan banyak berubah,” kata Kocurek kepada New York Times.
***
Beli UC PUBG Mobile, ya di itemku! Udah hemat, gampang, cepat pula. Langsung cus aja!
Untuk press release, iklan, dan kerja sama lainnya dapat mengirim email ke [email protected].