Sudah berapa kali muncul film adaptasi video game? Banyak.
Ada berapa yang sukses dari segi komersil maupun kritis? Cuma segelintir.
Kami tak perlu menyebut buktinya satu per satu tetapi Anda pasti sudah bisa menebak. Hmm… kalau Anda memaksa, baiklah, akan kami sebut dua di antaranya: Tekken dan Warcraft. Oh, mau tambah? Oke, Street Fighter dan Alone in the Dark. Lagi? Silakan cari di Google.
Mayoritas orang sepakat bilang bahwa film adaptasi video game sering gagal. Lantas, apa alasannya?
Beda konsep antara film dan game
Dengan film, kamu menonton. Kalau game? Jawabanmu merefleksikan perbedaan konsep antara keduanya. Kita sebagai gamer akan berpartisipasi pada game, sedangkan film ya cuma menonton (kecuali Black Mirror: Bandersnatch yang notabene film interaktif).
Efeknya bermacam-macam. Salah satunya kita cuma bisa bersimpati pada tokoh utama film. Sementara itu, di game kamu benar-benar memerankan sosok atau tokoh atau apapun yang jadi sorotan utama. Efek partisipasi ini belum pernah hadir pada film adaptasi game manapun.
Durasi yang terbatas
Beberapa game dengan jalan cerita kompleks dibangun lewat detail-detail kecil. Itulah kenapa kamu butuh waktu lama untuk menamatkannya. The Last of Us, misalnya, yang setidaknya butuh waktu 18 hingga 20 jam agar benar-benar tamat. The Elder Scrolls: Skyrim bahkan butuh 300 jam.
Film sama sekali tak seperti itu. Rata-rata cuma berdurasi 2 jam yang berarti butuh cerita ringkas dan padat. Perancang narasi video game Cara Ellison juga mengungkapkan hal yang kurang lebih serupa: “Film yang bagus punya skenario ringkas. Game populer tidak seperti itu.”
Masuk akal jika kemudian film Warcraft dianggap gagal.
Kesulitan menentukan jalan cerita
Cara paling praktis untuk menciptakan film hasil adaptasi video game adalah dengan memilih game dengan cerita yang memang sudah kuat sejak awal. Pilihannya banyak sekali. Ada The Last of Us, Red Dead Redemption, The Witcher, hingga Life is Strange.
Tapi tak semua seperti itu. Beberapa game cuma menonjolkan sisi gameplay, misalnya game fighting atau sepak bola (nah lo!), sehingga mesti merancang cerita sendiri untuk difilmkan. Kalau bagus, sih, tak masalah. Tapi kalau gagal? Ya seperti Tekken dan Street Fighter nasibnya.
Memfilmkan game dengan cerita bagus saja susah, apalagi game yang pada dasarnya tak punya cerita.
Terlalu banyak yang diubah
Buat gamer, film adaptasi video game tak ubahnya fanservice (materi yang dibuat untuk memanjakan penggemar). Mereka tak akan berekspektasi macam-macam, sebab kepuasan bermain sudah didapat lewat game. Film lantas jadi upaya memenuhi rasa penasaran gamer terkait gambaran jika game kesayangan mereka difilmkan.
Masalahnya, film tak mampu menyajikan itu. Ada yang mengubah alur cerita seperti pada Resident Evil. Ada yang seperti Street Fighter, dicap gagal karena salah memilih aktor. Jika aspek-aspek ini saja sudah mengecewakan, apa yang lantas dijanjikan? Apalagi kalau jalan ceritanya juga hancur.
***
Beberapa rumah produksi cenderung terlalu memaksakan diri untuk memfilmkan video game. Padahal, medium adaptasi tak cuma layar lebar. Masih ada serial, yang seharusnya menyediakan wadah eksplorasi lebih besar. Alasan utama karena durasi yang lebih panjang.
The Witcher bisa jadi bukti. Serial yang diadaptasi dari game berjudul sama ini terbilang sukses sejak tayang awal tahun lalu. Lantas jika memang upaya mengadaptasi video game masih akan terus terlihat, ada baiknya medium satu ini yang digunakan ke depannya.
Lagi pula, ketimbang film, game dengan jalan cerita kompleks lebih mirip sebuah serial. Ia terbagi dari beberapa episode, ada detail-detail kecil di tiap bagian, berikut percakapan remeh tetapi berperan membentuk karakter salah satu tokoh. Serial banget bukan?