Tak seperti perdebatan ada atau tidaknya sisi olahraga pada esports, diskusi soal apakah video game termasuk karya seni atau bukan rasanya tak penting-penting amat. Maksudnya, kalau ia termasuk seni mengapa? Kalaupun tidak, juga mengapa?
Tak ada hal krusial sama sekali. Kamu, toh, akan terus bermain game, tak peduli apakah itu sebuah seni atau bukan dan sebagainya dan sebagainya.
Perdebatan ini lebih seperti membicarakan hal abstrak yang simpulannya bisa bermacam-macam sudut pandang. Rasanya tak berbeda dengan omongan-omongan penulis balbalan kondang yang berulang kali menyebut sepak bola sebagai sebuah seni.
Video game bukan karya seni
Tapi, pertanyaan itu akan selalu mengemuka: Apakah video game termasuk karya seni? Kalau memang demikian, mengapa?
Bila tanya itu datang kepada Roger Ebert, ia akan menjawab tidak. Mengutip Kyle Chayka di The Atlantic, Ebert menjelaskan bahwa game bukanlah karya seni karena ia yakin tak ada visi artistik dalam proses penciptaannya.
Orang-orang, di sisi lain, tak akan pernah menyebut kreator game sebagai seniman. Sebutannya, ya, developer dan selamanya akan seperti itu. Adapun, “seni biasanya diciptakan oleh seorang seniman,” begitu tulis Ebert, jurnalis yang juga kritikus film ini.
Jika kita hanya melihat game sebagai buatan developer, argumen Ebert masuk akal dan sangat bisa dianggap benar. Namun, faktanya, developer adalah sebuah tim yang di dalamnya berisi bermacam-macam orang dengan ragam fungsi berbeda.
Programmer biasanya jadi yang utama. Di luar itu, ada hal lain yang tak kalah krusial: Mereka yang mengurus visual dan audio. Karena game terus berkembang semakin kompleks, tak jarang pula developer memiliki tim khusus yang merancang jalan cerita.
Kehadiran visual, audio, dan cerita jadi penting sebab game memang mengandung unsur-unsur itu.
Kita bisa menikmati visual bergaya anime yang luar biasa di Genshin Impact. Pada saat bersamaan, kita mendengar berbagai jenis suara—termasuk Paimon yang menyebalkan itu, sembari terus menjalankan misi yang merupakan jalan ceritanya.
Video game adalah karya seni
Menurut Martin Suryajaya dalam esai super panjangnya di Indoprogress, perpaduan demikian justru membuat game sebagai seni yang lengkap. Kelengkapan itu bahkan melampaui konsep seni total yang menurut Richard Wagner terwujud dalam seni opera.
Kuncinya terletak pada partisipasi, sesuatu yang tidak ada pada opera. Game, sementara itu, memilikinya yang mewujud dalam sebagian dari kita: Para gamer. Lebih jauh, kita juga berinteraksi secara langsung melalui tombol-tombol pada keyboard, controller, layar, bahkan suara.
Belakangan, konsep demikian beberapa kali kamu temukan di film-film yang tayang di layanan streaming. Salah satunya Black Mirror: Bandersnatch (2018), sebuah film yang coba mengajak penonton terlibat langsung menentukan jalannya cerita.
“Video game merealisasikan apa yang selama ini belum berhasil diwujudkan oleh sastra kontemporer: Pemirsa sebagai partisipan yang ikut membuat jalan cerita ketimbang menafsir jalan cerita. Dalam arti inilah saya menyebut permainan video sebagai Gesamtkunstwerk, suatu ‘karya seni total’”
Martin Suryajaya
Masih banyak berbagai argumen yang coba membantah anggapan bahwa game adalah karya seni. Salah satunya soal keberadaan industri miliaran dolar yang berdiri di belakangnya. Namun, bukankah film hingga film di masa sekarang juga bekerja dengan cara seperti itu?