TJ bukan gamer profesional. Kanal Youtube-nya pun tak lebih dari lima ribu subscribers. Ia mungkin sama seperti kita semua yang gemar bermain game. Pembedanya satu: TJ adalah penyandang tunanetra. Kondisi itu juga tergambar dari nama kanal Youtube-nya, TJ The Blind Gamer.
Yep, TJ seorang gamer, dan ia penyandangan tunanetra.
TJ sering berbagi kesehariannya bermain game di kanal tersebut. Game favoritnya adalah tembak-tembakan, khususnya seri Call of Duty, dengan rata-rata penonton sekitar 50 hingga 70 orang. Tapi pada suatu kesempatan, penonton videonya membludak hingga puluhan ribu.
Video itu berisi aksi TJ kala bermain Call of Duty: WWII. Di sana ia berhasil melakukan 7600 kills. Mengingat kondisinya, orang-orang lantas menaruh kagum sekaligus bertanya-tanya: Bagaimana bisa TJ bermain game sebaik itu dengan penglihatan yang bermasalah?
Jawabannya adalah mengandalkan suara. Kebetulan, Activision selaku pengembang Call of Duty menyediakan fitur aksesibilitas tambahan agar ramah bagi difabel. Dengan fitur itu mereka bisa menentukan berbagai hal dalam game melalui arah dan jarak suara.
Ada pula fitur Alexa dari Amazon yang bisa gamer integrasikan di Call of Duty. Ini membantu TJ memberi perintah suara sekaligus menerima informasi melalui suara pula terkait kondisi pemainnya, keberadaan pemain lain, hingga progres atau capaian dalam game.
“Saat kehilangan penghilatan pada kedua mata, saya mulai bermain game dengan menggunakan headset tidak seperti biasanya,” kata sosok asal Utah, Amerika Serikat, ini kepada Kotaku pada 2018 lalu. Waktu itu, usianya masih 19 tahun.
Banyak sekali penyandang tunanetra seperti TJ. Pada 2017, jumlahnya mencapai 253 juta jiwa. Angka itu bahkan diprediksi bisa terus meningkat hingga tiga kali lipat pada 2050 mendatang. Demikian menurut Lancet Global Health.
Masalahnya, cuma segelintir game yang menyediakan fitur yang ramah bagi gamer tunanetra. Jalan tengah akhirnya adalah dengan memainkan game-game yang memang khusus dirancang untuk tunanetra. Itu pun dengan jumlah yang relatif terbatas.
Beberapa orang lantas mengkritik kondisi yang tak adil bagi penyandang tunanetra ini. Ada peneliti, aktivis, hingga pelaku game itu sendiri. Steve Saylor, seorang Youtuber game, sekaligus penyandang tunanetra, termasuk salah satunya.
“Awalnya, konten saya cuma menunjukkan betapa buruknya saya bermain game. Tapi, saya datang ke acara konferensi Ubisoft pada 2017. Saya menghadiri panel yang pembicaranya saling berbagi pengalaman. Di situ saya sadar, bukan saya yang payah, melainkan gamenya,” kata Saylor suatu kali.
Yang Saylor kritik tak berbeda dari kritik-kritik kebanyakan. Ia ingin developer game menyediakan sesuatu yang bikin mereka, para penyandang tunanetra, tak terlihat payah kala bermain game. Singkatnya, ia ingin menikmati game dengan lancar seperti orang lain pada umumnya.
Ada beberapa cara yang ditempuh. Yang paling sederhana melalui pengaturan dasar seperti deskripsi dalam bentuk audio hingga ukuran font. Atau yang agak njelimet seperti aksesibilitas khusus yang bisa dinikmati TJ tadi lewat game Call of Duty.
“Para pencipta game dan konsol di masa lalu tidak mempertimbangkan disabilitas karena isunya belum seterkenal sekarang. Saya tidak akan mempermasalahkan jika begitu keadaannya. Mereka mungkin tidak punya kenalan penyandang disabilitas, atau bahkan bukan seorang penyandang.”
“Namun, seiring dengan tumbuhnya komunitas penyandang disabilitas yang juga ingin bermain game, pengembang seharusnya tergerak untuk mewujudkan hal itu. Semakin keras suaranya, maka semakin banyak pula orang yang memerhatikan isunya,” tutur Saylor.
TJ punya harapan yang lebih spesifik. “Satu ide yang terlintas di kepala adalah konfigurasi yang bisa menghasilkan suara dan menyampaikan mode permainan yang sedang dimainkan, serta beragam informasi penting lain yang membantu pemain dengan masalah penglihatan bisa lebih mudah mengakses game,” ucapnya.
Pada akhir Juni 2020, developer Naughty Dog merilis salah satu judul game terpopuler saat ini, The Last of Us Part II. Steve Saylor menangis haru saat coba memainkannya sebab terdapat fitur aksesibilitas yang selama ini ia dan para gamer penyandang tunanetra lain perjuangkan.
“Kalian tidak akan tahu betapa berartinya semua ini. Ada banyak sekali hal di game ini. Ini juga menjadi salah satu hal yang saya dan orang-orang dengan keterbatasan fisik lain harapkan setelah sekian lama,” ucap Steve dalam video yang dia unggah di Twitter.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up diamond Free Fire termurah se-Indonesia di itemku!