Keselamatan dunia ada di tangan ayah Katie Mitchell yang bernama Rick. Masalahnya, ia mesti berhadapan dengan layar smartphone raksasa untuk menyelesaikan misi itu. Bukan, bukan karena ukuran layarnya. Ini jadi masalah sebab Rick tak mengerti teknologi sama sekali.
Tadinya ibu Katie yang lebih melek teknologi bakal membantu. Namun, segerombolan robot canggih berhasil meringkusnya lebih dulu. Katie dan adiknya, di sisi lain, juga terperangkap di suatu tempat. Jadilah, Rick yang gaptek mesti melakukannya seorang diri.
Tentu ia kelabakan. Mestinya menulis www.youtube.com malah tertulis wwwdotyoutubedotcom. Harusnya memilih ‘english’, malah tak sengaja menyentuh ‘espanol’.
Pada akhirnya upayanya berhasil, tetapi satu hal terlihat jelas: Ketimpangan pemahaman digital antargenerasi.
“Has the world gone mad?” ayah Katie berteriak kencang.
Demikian salah satu kritik yang tertuang di salah satu film animasi terbaik tahun ini: The Mitchells vs the Machines. Saya menontonnya seminggu yang lalu.
Ketika gambaran tiap-tiap adegannya belum hilang di ingatan, hal yang kurang lebih serupa terjadi di dunia betulan.
Di salah satu daerah di Indonesia, seorang emak-emak memarahi kurir karena barang yang ia beli secara online lewat sistem COD tak sesuai dengan pesanan. Tak cuma marah, ia bahkan menolak membayar dan memaksa si kurir mengembalikan barang itu.
Si mas-mas kurir lantas merekam kelakuan emak-emak tersebut.
“Kok Ibu ngata-ngatain saya goblok?” tanya si kurir.
“Iya, goblok lu. Dari tadi ngomong nggak paham. Blok goblok!” bentak emak-emak tadi.
Seketika, meme ‘blok goblok’ viral di media sosial.
Orang-orang tertawa, saya juga tertawa dan sempat sedikit ikutan memaki si emak. Soalnya, sebagian dari kita tahu bahwa barang yang kita terima enggak bisa langsung dikembalikan jika ada kesalahan. Kita mesti menghubungi penjual atau customer service dulu, baru kemudian diproses.
Namun, di balik semua olokan itu, terselip sedikit tanya: Bagaimana jika ternyata si emak tak mengerti sama sekali sistem ini? Bagaimana jika rupanya si emak bahkan tak tahu apa itu sebenarnya COD?
Sebagian besar emak-emak, bersama para orang tua lain dari generasi terdahulu, termasuk salah satu ‘kelompok’ yang rasanya memang agak tertinggal dalam hal teknologi. Tak seperti kita, sebagian dari mereka tidak mengenal smartphone atau internet sejak bocah.
Dengan kondisi begini, sialnya, mereka seolah luput dari perhatian kita semua. Coba tengok ada berapa banyak pelatihan internet atau komputer atau hal lainnya khusus untuk mereka?
Lihat-lihat lagi seberapa banyak orang tua yang memiliki akun media sosial sendiri? Rasanya sangat jarang.
Selama ini hal-hal seperti itu lebih banyak menyasar generasi terkini. Berdasarkan data Statista, pengguna media sosial di Indonesia didominasi mereka yang berusia 18–24 dan 25–34 tahun. Kelompok usia tertua, yakni 55–64 tahun, adalah yang jumlahnya paling sedikit. See?
Angka-angka itu membuktikan bahwa generasi terkini (milenial, gen z, atau apa pun sebutannya) punya pemahaman teknologi yang lebih baik, atau setidaknya sudah terbiasa.
Oleh karena itu, mestinya kita yang lebih mudalah yang coba memberi pemahaman lebih jauh terhadap para orang tua.
Hal seperti ini penting karena dunia seolah memaksa semua orang untuk dekat dengan teknologi. Pandemi COVID-19, misalnya, mengharuskan guru-guru untuk menggelar kelas secara online. Tak ada pengecualian, tak peduli apakah itu guru muda atau pun yang sudah sepuh.
Beberapa orang tua juga mesti memiliki akun WhatsApp sendiri demi kepentingan pekerjaannya. Seandainya kita tak coba memberi pemahaman yang baik, segala jenis hoaks yang tersebar di sana bakal mereka serap mentah-mentah tanpa terkecuali. Itu salah satu efek negatifnya.
Yang emak-emak tadi lakukan termasuk contoh negatif lain. Mestinya, orang terdekatnya bisa memberi pemahaman terlebih dulu.
Lha ini, anaknya (atau keponakan atau siapa pun itu) yang ada di sebelahnya malah ikutan sibuk menyalahkan kurir, alih-alih menjelaskan semuanya ke sang ibu.
Betul, menjelaskan perkara rumit ke orang tua memang bukan hal mudah. Kita mesti memilih istilah khusus dan sederhana agar mudah mereka pahami.
Ini tak cuma berlaku untuk sederet hal soal belanja online, COD, dan sejenisnya. Ini juga mencakup seluruh aspek teknologi lain.
Dulu, waktu masih lebih sering tinggal di rumah, ayah dan ibu sering melihat saya main Pro Evolution Soccer (PES) di komputer.
Butuh waktu cukup lama untuk menjelaskan bagaimana sistem kerjanya, mengapa tiap-tiap pemain bisa mengikuti perintah kontrol kita, dan sebagainya.
Kali lain, ayah saya tertarik dan bertanya banyak hal perihal game yang saya mainkan di smartphone. Yang seperti ini kadang-kadang bikin emosi karena, toh, memang menyebalkan. Kita mesti menjelaskan panjang lebar, berulang-ulang, sampai orang tua mengerti.
Namun, ini sangat penting, setidaknya agar otang tuamu mengerti apa yang kamu lakukan. Minimal mereka paham dengan jelas bahwa duitmu habis karena belanja game di Steam, top up diamond Free Fire dan Mobile Legends, bukan untuk judi, misalnya.
Kian penting lagi jika semua yang mereka tanyakan berkaitan langsung dengan aktivitas sehari-hari seperti, katakanlah, cara mengirim email, cara memilih stiker WhatsApp, cara mendengar lagu atau menonton video di Youtube, hingga cara belanja online.
Jumlah pengguna internet, pemilik akun media sosial, dan gamer di Indonesia didominasi kita generasi muda.
Harusnya, generasi yang lebih melek teknologi ini punya semacam tanggung jawab moral untuk membuat para orang tua lebih paham teknologi.
Agar insiden blok goblok, orang tua yang memaki kasir indomaret, atau seperti yang dialami ayah Katie Michell tak terulang lagi.
***
Top up diamond Mobile Legends, ya, di itemku! Udah hemat, gampang, cepat pula. Langsung cus aja!
Untuk press release, iklan, dan kerja sama lainnya dapat mengirim email ke [email protected].