Meskipun ada banyak pasar game digital, pengguna PC umumnya adalah pengguna Steam. Saya sendiri adalah hamba Gaben sejak 2015 (akun saya berulang tahun tanggal 23 Februari nanti). Selama itu, sudah cukup banyak uang yang saya keluarkan di Steam, meskipun tentu saja sekitar 90%-nya terjadi saat Steam Sale.
Meski begitu, saya tidak akan sungkan menyebut kalau Steam bukanlah pemain terbaik di posisinya. Alih-alih, gelar itu saya sematkan ke Epic Games Store, pemain yang relatif baru (dirilis Desember 2018) dan pastinya punya lebih sedikit pengalaman. Ya, Epic Games Store adalah toko game digital yang lebih bagus daripada Steam.
Buat fanboy Lord Gaben, Valve, atau Steam, jangan terpelatuk dulu ya. Sini saya jelasin.
User interface
Meski sudah cukup lama memainkan Progressbar95, saya bukanlah ahli user interface alias tampilan antarmuka. Meski begitu, bagi saya tampilan Epic jauh, jauh lebih baik daripada Steam.
Dari yang paling sederhana, menu-menu yang ada di Epic lebih mudah ditemukan. Semuanya diletakkan di bar sebelah kiri layar. Jumlahnya pun tidak terlalu banyak.
Di Steam, ada tiga baris menu yang mengisi layar. Pertama, menu super kecil nan tak terlihat yang bercokol di sudut kiri atas layar. Kedua adalah menu di bawahnya yang ditulis dengan menggunakan huruf kapital semua. Yang ketiga adalah menu berlatar biru khas Steam yang entah dibagi berdasarkan apa.
Apakah sudah semua? Oh tentu saja belum! Jika kita turun sedikit, akan terlihat menu di sebelah kiri layar yang.. aduh, nggak tega bahasnya.
Itu baru menu, lho. Kita belum bicara soal aspek-aspek lain seperti penataan konten di halaman utama, tampilan mobile, atau store page. Mungkin suatu saat saya akan bikin tulisan terpisah soal ini. Mungkin.
Game gratis
Rekan saya Angga pernah membahas soal Epic dan game gratis, jadi tidak perlu lah ya saya kasih pendahuluan lagi. Intinya, Epic punya program bagi-bagi game setiap pekan, dan itulah alasan utama saya membuat akun di sana. Begitu pula dengan banyak pengguna lain, sepertinya.
Game-game gratisan Epic memang tidak selamanya bagus. Tapi, ketika sedang niat, mereka tidak pernah tanggung-tanggung. Sebut saja Watch Dogs 1 dan 2, Star Wars Battlefront 2, Football Manager 2020, dan tentu saja Grand Theft Auto V. Semuanya adalah judul-judul besar dan mungkin tidak terjangkau kantong banyak gamer—termasuk saya.
Sedangkan Steam? Jangan ditanya, deh. Selama hampir 6 tahun menggunakan Steam, saya ‘baru’ punya sekitar 100 game. Itu pun sebagian besar saya beli (saat Steam Sale). Bandingkan dengan library Epic saya yang berisi lebih dari 120 game. Total uang yang saya keluarkan? Rp0 juta saja.
Game eksklusif
Akhir-akhir ini, Epic sangat rajin mencaplok hak jual bagi nama-nama terbesar di industri game. Tahun 2019, Epic berhasil mendapatkan hak eksklusif game shooter-looter Borderlands 3. Tahun lalu, hanya Epic yang bisa menjual versi remake dari game papan luncur legendaris Tony Hawk’s Pro Skater.
Yang paling baru tentu adalah bergabungnya waralaba Kingdom Hearts ke Epic, seperti yang mereka umumkan Jumat (12/02) lalu. Ini adalah kali pertama game-game Kingdom Hearts bisa dimainkan di PC.
Sebagai penggemar serial ini, saya cuma bisa bersyukur sejadi-jadinya. Bukan cuma karena saya bisa bernostalgia bersama Kingdom Hearts 1 dan 2, tetapi juga karena saya tidak perlu membeli Playstation 4 untuk sekedar main Kingdom Hearts 3.
Ini bukan berarti saya bakal beli di hari rilis juga sih, hehe.
Langkah Epic dalam membeli hak eksklusif game memang bukan tanpa reaksi negatif. Banyak orang yang memandang langkah Epic sebagai praktik monopoli, dan sebagainya dan sebagainya. Ini adalah topik yang terlalu besar untuk dibahas di satu paragraf, tapi sejujurnya saya sendiri tidak begitu peduli dengan eksklusivitas. Selama tidak perlu beli konsol baru, saya sih oke-oke saja.
Bukan tanpa cela
Dengan semua kelebihannya, Epic Games Store sendiri sebetulnya bukan tanpa cela. Kelemahan mereka yang paling utama adalah harga game wilayah Indonesia yang masih berupa dolar. Steam lebih oke di sisi ini, karena mereka menerapkan regional pricing sehingga kita-kita gamer kere di Indonesia bisa belanja game dengan harga rupiah.
Selain itu, Epic masih belum punya dompet digital seperti Steam Wallet. Fitur ini sangat penting terutama karena kita jadi bisa beli game dengan harga yang semakin murah. Sebagai contoh, jika ada pihak yang menjual Steam Wallet denominasi Rp6 ribu seharga Rp4 ribu, kita jadi bisa membeli Terraria (Rp90 ribu) dengan cuma keluar uang Rp60 ribu saja.
Tapi, toh sejauh ini kelemahan-kelemahan itu masih belum bisa membuat saya berpikir Steam lebih bagus daripada Epic, titik.
***
Ingin berdiskusi asik seputar dunia game bersama master game lainnya? Segera gabung ke forum itemku sekarang juga!
Nikmati pengalaman top up voucher game favoritmu yang lebih menyenangkan dan lebih aman hanya di itemku.
Yuk, belanja voucher game di itemku sekarang juga!