Industri video game memandang negara-negara di Timur Tengah sebagai pasar potensial. Populasinya mungkin tak sebanding dengan negara pada penduduk Asia seperti China, India, hingga Indonesia.
Namun, orang-orang di kawasan itu tak segan mengeluarkan uang untuk bermain game. Arab Saudi contohnya.
Data Newzoo baru-baru ini menyebut bahwa sekitar 75 persen dari masyarakat perkotaan bermain game. Nah, sebagian besarnya termasuk gamer garis keras yang rela-rela saja merogoh kocek untuk game kesayangan.
Masuk akal jika selama 2020, total pemasukan industri video game di Arab Saudi mencapai 1 miliar dolar US. Angka ini terasa mencengangkan mengingat jumlah gamer di sana hanya sekitar 21 juta orang.
Itulah kenapa, penerbit-penerbit besar enggan mengalihkan pandangan mereka pada Arab Saudi, juga beberapa negara lain di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, hingga Mesir.
Yang jadi masalah, merambah pasar Timur Tengah berarti mesti siap melakukan banyak penyesuaian. Sudah bukan rahasia bila negara-negara Arab sangat terikat pada aturan. Inilah tantangannya.
Di Timur Tengah yang memang didominasi Muslim, sebagian besar aturan itu berlandaskan ajaran agama. Ia mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, hingga kehidupan sehari-hari termasuk cara berpakaian.
Nah, video game juga terikat pada aturan tersebut.
Colin Campbell dari Polygon pernah menulis soal bagaimana aturan itu bekerja. Di Timur Tengah, tulis Campbell, semua game yang bertentangan dengan ajaran agama, misalnya alkohol dan kekerasan, tak bakal beredar.
Pengecualian terletak pada game-game yang punya karakter dengan pakaian terbuka?—?yang sebetulnya juga bertentangan dengan agama. Untuk game seperti ini, penerbit bisa mengakalinya dengan merilis versi pakaian tertutup.
Namun, bukan itu saja masalahnya.
Bahasa sebagai tantangan utama game di Timur Tengah
Menurut Campbell, para penerbit dan studio game terobsesi melakukan pelokalan pada game-game yang akan rilis di Timur Tengah. Ubisoft saja sampai membuat kantor khusus di Uni Emirat Arab untuk proyek itu.
Jelas bukan proses yang mudah karena perbedaan budaya dan adanya sederet aturan ketat tadi. Namun, buat Ubisoft, yang jadi masalah paling utama adalah mengintegrasikan bahasa Arab ke dalam game.
Dalam bahasa Arab, setiap kata dan kalimat dibaca dari kanan ke kiri, beda dengan huruf latin. Dengan begini, sekadar menerjemahkan ke dalam bahasa Arab tidak cukup. Perlu penyesuaian lain pada antarmuka.
“Bagaimana kami orang Barat memandang komputer saat main game, tidak sama dengan orang-orang di sini. Ini sesuatu yang masih kami pelajari dan coba integrasikan ke dalam game,” ujar Yannick Theler dari Ubisoft.
Orang-orang Timur Tengah juga cenderung terbiasa mencari letak menu atau tombol tertentu dengan melihat dari sebelah kanan. Ini jadi masalah lain sebab sebagian besar game meletakkan tombol-tombol fungsi di sebelah kiri.
“Kami perlu memahami bagaimana mereka melihat layar dan apa yang paling mudah bagi mereka, sehingga mereka dapat secara otomatis menemukan apa yang mereka cari,” tutur Theler.
EA lewat FIFA jadi salah satu penerbit yang menyelipkan bahasa Arab sekaligus menampilkan tim-tim dari liga lokal. Ubisoft, di sisi lain, juga sudah melakukannya, terutama pada game untuk anak-anak, misalnya The Smurfs.
Theler bercerita, timnya bekerja super keras dalam proses pelokalan. Kerja keras itu terbayar saat mengetahui bahwa The Smurfs dalam versi bahasa Arab lebih laku ketimbang versi bahasa Inggris.
“Sebelumnya kami coba menjual dalam bahasa Inggris. Saya pikir hanya 400 orang dari wilayah Arab yang membelinya,” kata Theler.
Meski begitu, sebagian orang Timur Tengah tak terlalu menyukai pelokalan. Mereka beranggapan bahwa itu dapat merusak sejumlah hal pada game. Pasalnya, akan ada kata tertentu yang bila kamu terjemahkan bakal aneh.
Hal demikian sebetulnya tak cuma terjadi di negara berbahasa Arab. Di Indonesia, beberapa penerbit yang coba menyediakan game dalam bahasa Indonesia juga kerap terjebak pada masalah yang sama.
Jika kamu pernah memainkan League of Legends: Wild Rift dalam versi bahasa Indonesia, ada beberapa fitur in-game yang coba diterjemahkan. Salah satunya ‘Wild Core’ yang diterjemahkan menjadi ‘Inti Liar’.
Pada akhirnya hal-hal seperti itu jadi tantangan tersendiri bagi para pengembang dan penerbit. Melokalkan game bukanlah kesalahan, tetapi mereka perlu ingat bahwa tak semua istilah cocok diterjemahkan.