Kalau bisa memilih tahun terbaik sejak kali pertama berdiri, InnerSloth akan menyebut 2020 sekencang mungkin. Tak peduli ini tahun kelam bagi semua orang sebab 2020-lah yang membawa Among Us bikinan mereka selamat dari dari nasib buruk.
Lagi pula, bukankah Among Us jadi salah satu alasan di balik tawa orang-orang sepanjang tahun kelam ini?
InnerSloth merilis Among Us dua tahun lalu. Tak ada ingar-bingar pujian sebagaimana sekarang. Mereka justru pesimistis karena game itu cuma mendapat 30 pemain pada hari perilisan.
Barangkali InnerSloth sudah berpikir: Jangan-jangan game bikinan mereka cuma jadi game sekali lalu yang bahkan tak orang sadari keberadaannya, kemudian mati. Tapi, ah, siapa yang bisa menebak masa depan?
Tatkala orang-orang kebingungan mencari kesibukan di tengah pandemi COVID-19 yang menyebalkan, Among Us mendadak tenar. Berjuta-juta orang memainkannya. Perkiraan InnerSloth pun meleset.
Among Us tak menjanjikan grafis ataupun gameplay dengan cerita yang kuat. Game ini menarik lewat caranya menyediakan kesenangan sekaligus membuat kita terus terkoneksi dengan banyak orang.
Kisahnya tentang ‘Crewmate’ dan ‘Impostor’ yang masing-masing punya misi berbeda. Sementara crewmate mengendus siapa saja impostor, impostor bertugas menghabisi para crewmate.
Kau dapat berdiskusi saat game berlangsung. Pada masa ini akan ada yang berusaha berbohong, ada pula yang dengan sekuat tenaga menuduh, memfitnah, atau sejenisnya.
Sejumlah streamer di Twitch mengendus keseruan itu dan mengubahnya menjadi konten. Dari sinilah muasal ketenaran Among Us.
Kita tahu, kultur dunia perkontenan masa kini berjalan bak gosip tetangga sebelah. Sekali tersebar, ia akan terus merambat menuju telinga-telinga lain, membentuk konten-konten serupa.
Di Youtube, Jessica Jane memproduksi lebih dari sepuluh video Among Us. Youtuber Jerome Polin yang tak pernah bikin konten game bahkan ikut melakukannya. Among Us di mana-mana, di mana-mana Among Us.
Pertanyaannya, sampai kapan?
Game yang mendadak viral memang punya kelemahan dari sisi keberlanjutan. Ambil contoh Flappy Bird. Kendati penciptanya mengaku menghapus game itu karena menimbulkan ketagihan tak berujung, Flappy Bird sebetulnya memang sudah ditinggal secara perlahan.
Angry Birds juga demikian. Sempat viral di awal masa smartphone, game ini semakin hari semakin ditinggal penggemar. Pada 2015, Rovio Entertainment selaku pengembang bahkan terpaksa melakukan PHK terhadap hampir 50 persen karyawan mereka.
Among Us bisa bernasib serupa. Bahkan, mungkin saja lebih parah. Soalnya, selain karena amat mengandalkan para content creator, popularitas game ini ada kaitannya dengan pandemi. Kalau pandemi sudah usai, akan bagaimana nasib mereka?
Kuncinya terletak pada inovasi, hal yang ironisnya selalu digembor-gemborkan Rovio. Mereka bilang, sebuah perusahaan game harus senantiasa berpikir gila sebab penggemar tak menyukai game yang begitu-begitu saja.
“Membuat game itu harus gila. Dalam arti, mengonsep game yang bagus tidak bisa hanya dari satu sisi saja,” jelas Chief Marketing Officer Rovio, Peter Vesterbacka.
Terlepas dari itu, ia juga menekankan pentingnya memasyarakatkan game. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh, misalnya dengan merambah lini lain, seperti yang mereka lakukan saat membuat film animasi 3D Angry Birds atau, yang paling gampang, memaksimalkan media sosial.
“Model bisnis kami mengacu kepada Disney, terutama dalam mengelola penggemar (fans) dan merek (brand),” ungkapnya lagi.
Jelaslah Among Us tak ingin punya nasib serupa Angry Birds. Walau begitu, cara-cara tersebut sangat bisa mereka tiru. Setidaknya untuk tetap survive hingga masa-masa mendatang seperti yang dialami Angry Birds sendiri. Lagi pula, belakangan ini pendapatan Angry Birds kembali stabil.