Reza Febri Nanda enggan membeberkan informasi sedikit pun ketika saya tanya perihal modal yang Gamecom Team butuhkan kala menggarap Parakacuk. Saat saya bertanya dalam lingkup yang lebih jauh, yakni soal pendanaan Gamecom keseluruhan, tentu ia juga enggan memberi jawaban.
Nanda cuma berujar singkat. Segala hal terkait biaya, katanya, adalah rahasia perusahaan. Yang jelas, ucap Nanda lagi, timnya menjalankan Gamecom menggunakan dana pribadi. Karena ini dana pribadi, jumlahnya hanya sekadar cukup. Tak kurang, tak lebih.
“Sampai sekarang enggak ada investor. Semuanya murni dari kami sendiri. Ada sedikit hasil keuntungan A Day Without Me.
Beberapa kru Gamecom juga punya proyek sampingan. Saya sendiri sambil freelance untuk membiayai perusahaan,” ucap Nanda, yang merupakan CEO Gamecom, kepada saya.
Nanda menjelaskan, Gamecom bukan satu-satunya studio game di Indonesia yang mengandalkan modal pribadi untuk pembiayaan operasional perusahaan. Malah, katanya, sebagian besar memang masih sangat bertumpu pada hal tersebut.
Hasil riset kolaborasi antara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) baru-baru ini juga mengungkap perkara serupa.
Bertajuk Peta Ekosistem Industri Game Indonesia 2020, riset tersebut berlangsung lewat survei berjangka pada kurun 31 Juli hingga 11 September tahun lalu.
Ada 80 responden pegiat industri game yang terlibat. Hasilnya, sekitar 67,5 persen masih menggunakan dana sendiri.
Dari persentase itu, lebih dari 60 persen responden mengaku pernah gagal produksi. Sebanyak 35,3 persen di antaranya menjadikan kekurangan dana sebagai alasan utama, kegagalan teknis sebesar 27 persen, kekurangan sumber daya manusia 29,4 persen, dan alasan lainnya sebesar 8,2 persen.
Perkara inilah yang mendasari mayoritas responden (97 persen) ingin pemerintah bisa turut serta. Sekitar 26 persen di antaranya berharap bantuan dalam bentuk pendanaan. Adapun, sebanyak 16 persen lebih mengharapkan bantuan dalam hal sosialisasi.
Pemerintah sebetulnya cukup gencar dalam upaya memasarkan game-game lokal. Lewat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf, sekarang Kemenparekraf), beberapa pameran game sempat dihelat. Salah satu yang terbesar dan rutin hadir per tahunnya adalah Game Prime.
Namun, ada sekitar 19,23 responden yang belum merasakan dampak langsung dari upaya-upaya tersebut.
Nanda juga merasakan hal serupa, khususnya dalam hal sosialisasi. Buat dia, hal ini penting mengingat di Indonesia saja, masyarakat belum terlalu peduli pada game lokal.
“Kalau sekadar tanggapan itu bagus. Di mana-mana banyak yang bahas game kami pas baru rilis. Tapi soal keinginan untuk main masih kurang banget. Mungkin karena kita udah terbiasa sama yang gratisan. Jadi, kalau ada yang gratis, ngapain bayar. Itu sih yang kami soroti,” ucap dia.
“Jadi saya lebih pengen pemerintah berperan sebagai penyalur atau yang mengenalkan game-game lokal secara luas.
Karena memang ini yang paling penting untuk jualan. Kalau pameran, kebetulan Gamecom Team pernah ikut yang tahun kemarin, efeknya enggak terasa,” sambung Nanda.
Bersama timnya, Nanda mengusung target besar, yakni menjadi studio game terbaik di dunia. Hanya, ia mengakui bahwa kurangnya sosialisasi membuat misi besar itu bisa terasa lebih sulit. Di sisi lain, pendanaan mereka juga terbatas karena bertumpu pada kocek pribadi.
Semua jadi kian berat jika melihat berapa uang yang pengembang-pengembang ternama butuhkan saat bikin game.
CD Projekt Red, misalnya, mengeluarkan setidaknya budget hingga 81 juta dolar saat mengembangkan The Witcher 3. Ini belum menghitung biaya promosi alias bisa lebih besar lagi.
Namun, sejarah mencatat lahirnya beberapa game yang sukses meski dikembangkan dengan budget pribadi yang minim.
Pengembang Stardew Valley, Eric Barone, salah satunya. Game sederhana bikinannya sukses hingga mampu meraup keuntungan 30 juta dolar hanya dalam setahun.
Kamu ingat Runescape? Game yang rilis pada 2001 ini juga disebut-sebut menggunakan budget tipis. Walau begitu, ia mencapai popularitas dengan cepat.
Menurut Gamez Industry, Runescape menghasilkan keuntungan mencapai 77 juta dolar dalam beberapa tahun saja.
Berikutnya ada Minecraft, Tetris, Flappy Bird, Among Us…
Kisah game-game itu jadi bukti bahwa budget bukanlah segalanya selagi game yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Namun, mesti diakui bahwa dengan modal yang besar atau setidaknya tak bertumpu pada kocek pribadi, upaya untuk mencapai mimpi besar bakal terasa lebih lancar.
***
Top up diamond Mobile Legends, ya, di itemku! Udah hemat, gampang, cepat pula. Langsung cus aja!
Untuk press release, iklan, dan kerja sama lainnya dapat mengirim email ke [email protected].