Puluhan tahun sebelum kultur mabar merajarela, hiburan para bocah sekolah adalah abang-abang yang menjajakan konsol genggam bernama gimbot.
Aktivitas mereka seperti pedagang kaki lima yang kerap nangkring di luar sekolah. Karena khawatir diusir satpam, abang-abang gimbot bakal berdiri di pojokan. Lokasinya nyaris tak terlihat tetapi para bocah bisa menemukan mereka dengan gampang.
“Bang, mau main, Bang!”
“Pokemon, Bang.”
“Mau main Pinball, Bang.”
Kendati lebih terkenal sebagai gimbot atau gembot, konsol ini sebetulnya bernama Game Watch. Perusahaan Jepang, Casio, yang pertama kali menciptakannya. Ia lahir sebagai respons Casio atas menjamurnya tren mesin game arkade pada 70-an.
Casio adalah perusahaan jam. Maka saat menciptakan Game Watch, mereka memadukan mesin game arkade dengan jam tangan. Tujuannya satu: Mereka ingin kesenangan arkade bisa kita bawa dan mainkan di mana saja sebagaimana jam tangan. Itulah Game Watch.
Tapi bukan Casio yang mempopulerkan sebutan Game Watch. Justru Nintendo yang melakukannya. Tak lama setelah Casio, mereka mengikuti konsep konsol portabel serupa dan memberi nama produk tersebut sebagai Game & Watch.
Game Watch lantas populer untuk menyebut semua konsol genggam sejenis. Termasuk produk-produk keluaran Tronica, Tiger, hingga Namco.
Karena jenisnya beragam, harganya jelas bervariasi dan tentu memberatkan para bocah sekolah. Mereka juga tak bisa begitu saja meminta orang tua untuk membelikan benda-benda tersebut. Butuh agenda khusus, seperti jika kamu dapat ranking atau baru saja sunat.
Abang-abang gimbot lantas jadi pelarian.
Untuk sekali main yang biasanya kurang dari lima menit, harganya berkisar di antara Rp50 sampai Rp100. Ada pula yang menggunakan tarif per setengah jam, yakni sekitar Rp500. Angka itu bisa meningkat hingga dua sampai tiga kali lipat jika kita menyewa Gameboy Color alias yang berwarna.
Beberapa abang-abang gimbot memanfaatkan tali tambang yang dipasangkan pada konsol mereka sebagai penanda waktu. Saat waktu bermain habis, abang-abang gimbot akan menarik tali tersebut. Mau lanjut bermain? Tinggal kasih uang tambahan.
Komedian yang juga eks jurnalis kondang, Soleh Solihun, lantas menggambarkan abang-abang gimbot seperti seekor gurita karena tambang yang mereka gunakan.
“Abang-abang penyewa gimbot biasanya memasang tali pada gimbotnya. Dia punya beberapa belas gimbot yang disewakan Rp 50 sekali main (sampai game over). Jadi abang gimbot ibarat gurita dengan banyak tentakel yang ujungnya gimbot.”
‘’Kalau yang menyewa sudah game over, biasanya si abang akan menarik-narik tali sebagai tanda sudah berakhir masa sewanya atau perpanjang lagi,’’ tulis Soleh dalam buku Majelis Tidak Alim, seperti kami lansir dari Good News From Indonesia.
Tak semua menggunakan sistem itu. Sebagian di antaranya memanfaatkan kabel. Fungsinya masih sebagai penanda waktu yang akan ditarik ketika masa bermainmu habis. Namun, tujuan utamanya adalah untuk menghubungkan gimbot dengan aki sehingga batrainya unlimited.
Itulah kenapa sebagian besar abang-abang gimbot sangat tak menyukai hujan. Dengan hujan, aki bisa konslet dan kalau aki konslet, gimbot tak bakal menyala. Di kondisi seperti ini kita tak akan bisa menemukan keberadaan abang-abang gimbot.
Sekarang, kita juga tak bisa lagi menemui abang-abang gimbot. Tapi bukan karena hujan, melainkan karena zaman.