Dahulu sekali, Game Boy hingga Atari tak ubahnya barang mewah. Itulah kenapa Emir Dhani, Abby, dan Tan tak bisa begitu saja meminta orang tua mereka untuk membelikan dua benda tersebut.
“Untuk anak-anak cowok pada masa kami, buat dapat mainan mesti sunat dulu kali ya,” cetus Emir suatu kali.
Kondisi demikian yang lantas mengantarkan ketiganya membentuk komunitas bernama Organisasi Retro Game Indonesia (ORGI).
Komunitas ini berdiri sebagai upaya ‘balas dendam’ terhadap masa kecil yang sulit mendapatkan konsol-konsol yang populer pada 1980-90-an.
“Awalnya saya beli mainan jadul ini di free market. Semakin banyak koleksi, saya jadi bertanya-tanya, ‘ada nggak ya orang yang juga ngoleksi mainan jadul beginian?’ Nah, saya buat grupnya di Facebook,” kenang Emir.
Mulanya nama yang dipilih adalah Penggemar Gimbot Jadul. Pada 2012, mereka sepakat mengubahnya menjadi ORGI dengan tujuan memperluas cakupan mainan. Dengan begini, yang bergabung tidak cuma penggemar Game Boy.
Perubahan itu berdampak besar. Jika pada awal-awal grup dibikin hanya satu-dua orang yang bergabung, kini terdapat lebih dari 8000 orang.
Anggotanya tersebar di beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera, Yogyakarta, dan Jakarta.
“Membernya dari seluruh Indonesia dan beberapa menjadi admin untuk buat ORGI di daerah lain,” jelas Emir.
Tentu saja jumlah anggota yang kian besar bikin aktivitas di dalam ORGI kompleks. Komunitas ini pada akhirnya tak cuma jadi wadah diskusi kecil-kecilan dan pamer, tapi juga mulai merambah aktivitas jual beli.
Suatu hari ada anggota yang menjajakan game retro seperti Tetris. Kali lain, ada anggota yang menjual beberapa koleksi konsol jadul miliknya semisal Sega Game Gear hingga Dingdong.
Nostalgia hingga ladang bisnis
Pada 2017 saya sempat mendatangi rumah Tan di Jakarta guna melihat koleksi game retro miliknya. Terdapat tujuh dingdong yang berjejer rapi di ruang tamu.
Saya kaget karena ternyata itu belum semuanya. Saat diajak menuju ruang koleksi, Tan masih memiliki lima dingdong lagi.
Tan menjelaskan bahwa dingdong-dingdong itu ia beli dengan harga di atas enam juta rupiah. Cukup mahal memang. Tan mengkuinya. Tapi itu sebanding dengan apa yang bisa ia peroleh. Dingdong, bagi Tan, adalah cara terbaik untuk bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa kecil.
Lagi pula, Tan bilang bahwa uang yang ia keluarkan belum seberapa bila dibandingkan dengan kolektor lain.
Sejumlah kolektor rela mengeluarkan hingga ratusan juta untuk menebus game tertentu. Apa boleh bikin, adu gengsi di antara para anggota tak terelakkan.
“Kalau saya pribadi buat nostalgia pastinya. Saya juga bisa nambah pengetahuan tentang mainan yang kita suka, saya jadi tau tuh turunan dari beberapa mainan seperti gameboy, terus jadi tau juga bagaimana cara memperbaiki kalau ada yang rusak,” tutur Tan.
Emir punya pandangan berbeda terkait manfaat ORGI. Baginya, komunitas ini bisa menjadi ladang bisnis yang cukup menguntungkan. Tak sekali-dua kali ia menjual kembali game-game retro yang ia miliki.
“Tapi saya cenderung akan menomorduakan soal bisnis ya, soalnya mainan jadul ini kan langka. Jadi lebih bangga aja kalau kita yang punya. Tapi temen-temen ORGI sering tuh bilang, ‘Udah lepas aja’,” ungkap Emir.
Terlepas dari semuanya, keberadaan Emir para anggota ORGI ibarat anomali di tengah gempuran berbagai macam game smartphone dan konsol futuristik.
Ini jadi bukti bahwa ternyata game-game retro masih banyak peminatnya dan bahkan tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
“Saya pernah dapat beli mainan dari Irian Jaya. Ternyata yang suka mainan jadul ini menyebar di seluruh Indonesia. Ternyata semua orang pernah main game.” ujar Abby kepada saya.