Ini adalah bagian kedua dari seri artikel ‘Plagiarisme di Video Game’. Bagian pertama bisa kamu baca di sini (Sejarah dan Mengapa Ini Sudah Ada Sejak Dulu).
Dalam suatu kesempatan, Reza Febri Nanda selaku CEO Gamecom pernah berkata kepada kami bahwa menjual game saat ini terbilang gampang. Penyebabnya? Maraknya platform distribusi video game digital. Silakan sebut satu per satu: Steam, Epic Games, Play Store, App Store, dan sebagainya.
Karena kemudahan itu, selalu ada game dan studio baru yang bermunculan pada tiap harinya. Di Play Store, misalnya, ada lebih dari tiga juta game dan aplikasi mobile yang tercatat per hari ini. Di Steam, sementara itu, angkanya mencapai 50 ribu judul game berbeda.
Sayangnya, perkembangan super masif ini juga menyisakan dampak buruk: Praktik plagiarisme di video game menjadi lebih umum.
“Saat ini, orang-orang bisa menjual apa yang mereka salin dengan 50 cara berbeda. Via Youtube, App Store, atau Play Store. Lewat toko online yang makin banyak, mereka tidak takut konsekuensi plagiarisme. Semua bisa terjual,” tutur Barry Meade, Co-Founder Fireproof Games.
“Mau tidak mau kita harus mengatakan bahwa ekosistem yang ada saat ini memaklumi perilaku yang merusak,” sambung dia.
Menjamurnya toko game digital bahkan hanya satu dari sejumlah hal lain yang memicu masifnya praktik tersebut. Jika Maede sampai berkata bahwa industri video game sekarang seolah terlalu memaklumi tindakan plagiarisme, hal tersebut tidaklah berlebihan.
Plagiarisme video game dalam area abu-abu
Karya kreatif lain seperti musik punya definisi tegas untuk menggambarkan plagiarisme. Jika liriknya sama, atau nadanya sama, alasan untuk mengajukan tuntutan atas nama plagiarisme sudah bisa dilakukan. Beberapa negara bahkan sudah memberlakukan undang-undang tegas terkait hal ini.
Musisi Ed Sheeran, misalnya, pernah terjerat aturan itu karena dugaan plagiarisme terhadap dua lagu. Dua lagu karyanya, Photograph dan Thinking Out Loud, dianggap menjiplak lagu musisi lain. Alhasil, Ed Sheeran mesti menjalani rangkaian persidangan dan membayar sejumlah denda.
Industri video game tidak memiliki aturan tegas seperti itu. Salah satu alasannya karena sifat yang ada pada video game itu sendiri, dan ini sudah terlihat sejak jauh-jauh hari. Malah, sah saja rasanya menyebut bahwa inilah yang membantu video game makin berkembang tiap harinya.
EA Sports pernah secara gamblang meniru konfigurasi Winning Eleven untuk diterapkan pada FIFA 2003. Konfigurasi yang dulunya default diatur supaya memiliki tata letak yang sama persis dengan PES. Dengan begini, para pemain PES bakal lebih mudah jika ingin menjajal FIFA.
Apakah Konami melakukan tuntutan? Sama sekali tidak.
Mau bagaimana lagi, hampir semua game memang bertumpu pada ide-ide sebelumnya, tak menutup kemungkinan Konami sendiri. Coba kami tanya, ada berapa game FPS yang menggunakan kontrol WASD? Tombol ini mungkin universal, tetapi ada Quake yang pertama kali menerapkannya.
Alex Chapman, pengacara yang mengkhususkan diri di industri game, berkata: “Tak ada hak cipta dalam mekanik atau fungsi game. Hak Cipta akan melindungi tampilan visual dari game selama itu asli?—?seperti melindungi grafik, tata letak layar, dan aset grafis. Ini juga termasuk kode di dalamnya.”
“Namun, itu tidak akan melindungi fungsionalitasnya. Kebanyakan game adalah turunan dari sesuatu yang lain. Pikirkan game pertama dari jenisnya dan Anda bisa mengatakan bahwa semua game yang mengikutinya adalah tukang jiplak,” sambung Chapman.
Selain fungsionalitas, ide inti dari suatu game juga sulit diidentifikasi bentuk plagiarismenya. Tengok saja ketika game tertentu mendadak viral. Untuk tiap situasi demikian, akan ada game baru yang muncul dengan ide serupa. Flappy Bird, Angry Birds, bahkan Among Us adalah contohnya.
Radical Fishing, game bikinan Vlambeer yang sempat populer di iPhone, juga mengalami hal yang sama. Game itu dijiplak dalam bentuk berbeda dengan nama Ninja Fishing. Studio Gamenauts yang mengembangkannya. Bagi Rami Ismail, salah satu pendiri Vlambeer, kondisi ini adalah malapetaka.
“Melihat seseorang menyalin dan merilis sesuatu yang Anda kerjakan dengan susah payah, sesuatu yang sudah menghabiskan banyak waktu dan pemikiran begitu banyak, sesuatu yang Anda kembangkan selama berminggu-minggu…itu menyakitkan,” ujar Ismail kepada The Guardian.
“Ini menghambat kemampuan Anda untuk berpikir kreatif karena Anda tiba-tiba seperti berpikir: ‘Orang-orang itu menerima pujian atas kerja kerasmu.’ Ini perasaan yang aneh.”
Dalam pandangan Ismail, plagiarisme yang terjadi sangat identik. Ia telah melihat semua detail dan membandingkannya dengan game tiruan tadi.
“Semuanya sangat identik. Saat itulah kami menyadari ini bukan kebetulan. Tapi kami masih memutuskan untuk menunggu dan melihat apakah para penjiplak itu akan menghubungi kami untuk menjelaskan apa yang telah terjadi,” tutur Ismail lagi.
Tak ada jawaban memuaskan karena Gamenauts bersikeras enggan membatalkan proyek mereka. Terlebih, Gamenauts menilai bahwa meski mengakui terinspirasi dari Vlambeer, semua aset yang ada di Ninja Fishing adalah hasil kerja keras mereka.
Dengan jawaban seperti itu, tak ada yang bisa Ismail lakukan. Apalagi ia juga memahami bahwa topik plagiarisme di industri video game adalah hal yang abu-abu. Terlebih, yang ia permasalahkan dengan Gamenauts adalah ide, bukan aset di dalam video gamenya.
“Mengizinkan industri untuk mematenkan video game akan menjadi bencana. Kami tidak ingin membayangkan dunia di mana Vlambeer perlu membayar royalti kepada perusahaan yang tidak kami ketahui karena mereka kebetulan memiliki paten untuk sesuatu yang generik,” ujar dia.
“Namun tidak ada ambiguitas hukum atau moral dalam penjiplakan. Jika aset yang dikloning, itu salah secara hukum dan salah secara moral. Sementara jika desain game atau ide yang dijiplak, secara hukum oke tetapi salah secara moral,” sambung Ismail.
Ujung-ujungnya memang cuma etika yang bisa Ismail bawa. Ia sempat menjelaskan bahwa game adalah tentang gameplay, dan gameplay berkaitan erat dengan desain.
Dalam pandangannya, desain game adalah upaya mengajukan pertanyaan, lalu mencari solusi paling menyenangkan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dari situlah biasanya ide atas sebuah game muncul. Dari situlah Ismail mengawali Radical Fishing miliknya.
Namun, jika ide jadi permasalahan sejak dulu, kita tak akan pernah memainkan game-game seperti WarCraft, Age of Empires, atau Dota karena merupakan plagiat dari Command and Conquer. Kita juga mungkin tak akan melihat FIFA seperti sekarang, atau Call of Duty, atau game lainnya.
“Memang sangat sulit untuk menghindari penyalinan ide atau video game secara menyeluruh karena setiap orang yang menyalin memiliki alasan yang baik untuk melakukannya,” jelas Barry.
Tak bisa dimungkiri, permasalahan ide dalam video game masih sangat abu-abu sehingga menyebutnya sebagai praktik plagiarisme adalah sesuatu yang sulit. Namun, jika itu melibatkan aset seperti kode atau grafis sebuah game, barulah kita bicara mengenai plagiarisme.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan Steam Wallet termurah se-Indonesia di itemku!