Buat saya, American football adalah misteri. Saya tahu tentang gelaran Super Bowl namun sisanya adalah tanda tanya besar. Saya tidak mengerti bagaimana olahraga ini dimainkan, dan agaknya itu yang membuat saya gagal melihat sisi menariknya selama bertahun-tahun.
Hingga dua pekan lalu.
Ketika itu saya sedang menginstal Dr. Driving 2 lewat Google Play Store. Saat sedang menunggu proses instalasi dimulai, Play Store menyajikan sederet game rekomendasi. Di antara mereka terselip Retro Bowl.
Dari ikonnya, saya bisa menebak kalau ini adalah game American football. Jika saja sang ikon tidak dibuat dalam format piksel yang ‘burik’ itu, mungkin saya tak akan segan melewatkannya. Saya pun menekan si ikon.
Setelah melihat bahwa game ini punya rating yang bagus, saya langsung melihat kolom ulasan. Sebuah ulasan bikin saya tertarik dan mantap untuk mencoba:
Ya, jika game ini mampu membuat orang Indonesia (yang saya asumsikan tidak familier dengan American football) memberi nilai sempurna, apa salahnya dicoba?
Si serba sederhana
Kalau saya disuruh mereduksi Retro Bowl menjadi satu kata, saya akan memilih ‘sederhana’. Dimulai dari yang paling jelas, grafis.
Retro Bowl mengusung art style piksel yang sederhana. Desainer game ini, Simon Read, bekerja sama dengan ilustrator bernama John Savage yang memang biasa membuat karya seni piksel khusus American football. Tidak cuma visual, audio game ini juga digarap sedemikian rupa agar menyerupai game-game jadul.
Kesederhanaan berlanjut ke aspek gameplay. Tidak sulit memahami apa yang diinginkan oleh game ini, terlebih jika kita terbiasa bermain game simulasi olah raga beregu seperti PES dan FIFA (cuma itu yang saya tahu).
Nah, seperti yang bisa dilakukan di PES Master League dan FIFA Career Mode, di Retro Bowl kita berperan sebagai manager tim yang job desc-nya meliputi rekrutmen pemain, konferensi pers, pemilihan susunan tim, dan pastinya memimpin tim saat tanding.
Bedanya, semua lini pekerjaan kita di game ini dibuat sesederhana mungkin. Tidak ada budget berjuta-juta untuk merekrut pemain. Alih-alih, kita merekrut pemain dengan in-game currency bernama Coaching Credits (kita bahas lebih lanjut nanti). Pun demikian dengan konferensi pers yang hanya berisi satu pertanyaan.
Di sisi teknis, kita juga tidak perlu pusing meracik susunan tim, karena Retro Bowl hanya meminta kita untuk memilih pemain inti. Sisanya diatur oleh game. Saat bertanding pun, kita hanya bermain menyerang.
Bingung? Begini, tidak seperti sepak bola, pertandingan American football dibagi menjadi dua sesi: menyerang dan bertahan. Saat menyerang, tujuan kita adalah mencetak touchdown (seperti gol) dengan membawa bola ke ujung lapangan. Sebaliknya, saat bertahan, tujuan kita adalah mencegah touchdown dengan merebut bola atau menekel pembawa bola.
Di Retro Bowl, sesi bertahan dijalankan oleh game secara otomatis. Yang bisa kita kontrol adalah lemparan pertama (semacam kick-off), gerakan pemain yang memegang bola, dan tendangan field goal (mirip tendangan penalti tapi bukan).
Semua kesederhanaan ini berujung pada kecepatan, yang bagi saya adalah kekuatan terbesar Retro Bowl. Bagaimana tidak, dari pertama membuka game ini, kita bisa menyelesaikan satu pertandingan dalam beberapa menit saja.
Selain kecepatan, Retro Bowl juga punya kekuatan lain: mode kesulitan dinamis. Dengan mode ini, tingkat kesulitan AI ditentukan dari performa kita: Semakin sering menang, semakin sulit. Mode ini, seperti kata ulasan M. Aji Prasetyo di awal tulisan, memungkinkan pemain pemula untuk belajar menjadi mahir di awal ‘karier’ mereka.
Terlalu sederhana?
Sejak pertama kali diinstal, Retro Bowl tidak pernah absen saya mainkan. Saya bahkan berani bilang bahwa game ini membuat saya ketagihan. Di 2-3 hari pertama, saya bisa tidak tidur hingga jam 2 pagi cuma untuk memenangkan Retro Bowl (sebutan untuk Super Bowl di game ini). Game ini memang sebagus itu, kok.
Sayangnya, di luar itu semua, Retro Bowl tidak menawarkan banyak hal lain. Tidak ada mode multiplayer, juga turnamen lain selain kompetisi utama dan Retro Bowl. Absennya sesi bertahan juga merupakan kekurangan yang banyak dikeluhkan pemain. Kesederhanaan yang ditawarkan seakan kebablasan hingga membuat game ini mudah terasa membosankan.
Mungkin karena itu pula, sudah tiga hari ini saya kembali rajin bermain PES.
Masalah minimnya konten ini belum ditambah dengan model monetisasi Retro Bowl yang agak-agak pay to win. Betapa tidak? Tanpa Unlimited Version yang dibanderol Rp14 ribu sebelum pajak, kita cuma bisa menggunakan 10 dari 12 slot pemain inti.
Selain Unlimited Version, kita juga bisa membeli Coaching Credits untuk merekrut pemain/pelatih hebat, meng-upgrade fasilitas klub, dan menaikkan anggaran gaji agar bisa merekrut pemain yang jauh lebih hebat lagi. Yang terakhir itu paling krusial karena jika tidak dilakukan, lama kelamaan pemain-pemain terbaik kita akan pergi.
Lalu, apakah saya menyesal menghabiskan waktu dan mengeluarkan uang di Retro Bowl? Tidak terlalu, mengingat game ini membuat saya mampu menjelaskan aturan main American football kepada kamu dan, untuk pertama kalinya, mau menonton video best plays NFL di Youtube secara sengaja.
Retro Bowl bisa diunduh di Google Play Store dan Apple App Store.
***
Mainkan game Retro Bowl lebih puas dan seru dengan top up voucher google play harga murah di itemku sekarang juga!
Jangan lupa untuk ikut bergabung berdiskusi seputar dunia game bersama para gamers lainnya di forum itemku.