Retroid Pocket 2+ (atau Retroid Pocket 2 Plus, yang jelas bukan 2 Tambah atau 2 Salib) adalah perangkat gaming yang ..keren. Saya mau bilang unik tapi tidak jadi karena ia bukanlah yang pertama atau satu-satunya di kelasnya.
Ketika menulis tentang cara menjadi gamer tua, saya sedikit membahas soal gaming handheld dan memasang foto Retroid Pocket 2. Sayangnya, saya tidak bisa membeberkan informasi mengenai apa rasanya bermain game dengan menggunakan perangkat aduhai tersebut. Semata karena saya belum punya saja, sih.
Tidak sampai dua tahun kemudian, karena barang dan uangnya sudah ada, saya pun membeli versi Plus-nya.
Retroid Pocket 2+ adalah perangkat yang tercipta untuk satu tujuan: bermain game jadul. Chipset Tiger T310 keluaran 2019 yang tersemat padanya, begitupun kapasitas RAM yang hanya 2GB (tidak bisa bermain Genshin Impact). Semua itu “cuma” mampu mengemulasi hampir semua game hingga angkatan PS1, dan beberapa game PS2 yang ringan.
Dan tentu saja game-game staple Android seperti Mobile Legends, Free Fire, PUBG Mobile, dan COD Mobile. Dan karena ada Wifi 2.4G/5G, secara teoritis kita bisa streaming game PC via Steam Link atau Moonlight dan sejenisnya.
Sebetulnya ulasannya bisa berakhir di sini, tapi karena sepertinya kamu sangat suka membaca, baiklah.
Spesifikasi dan kelebihan Retroid Pocket 2+
Soal layar, kita hanya diberi layar sentuh 3,5 inci dengan resolusi 640 x 480. Lagi, sangat kecil dan burik untuk ukuran gawai genggam layaknya smartphone. Namun, lagi-lagi, karena tujuan penciptaan RP2+ adalah nostalgia, layar segitu justru sempurna untuk menampilkan nomor-nomor kenangan macam Pepsiman dan Pokemon Ruby.
Dimensinya kecil, tidak lebih panjang maupun lebih lebar daripada Xiaomi Redmi Note 8 saya (bisa untuk bermain Genshin Impact). Hanya saja jelas lebih tebal, terutama karena adanya shoulder button (tombol L1-2 dan R1-2).
Omong-omong soal dimensi, bentuk dan tata letak tombol Retroid Pocket 2+ mengingatkan saya pada GameBoy Advance. Form factor ini sendiri sebetulnya bukan satu-satunya, karena model vertikal atau “GameBoy Color” juga banyak dipakai oleh produsen retro handheld lain. Namun, buat saya, bentuk horizontal lebih ringkas dan lebih tampak seperti konsol game dibandingkan sejawatnya.
Lain-lainnya, RP2+ dilengkapi dengan dua pelantang di pojok kiri dan kanan bawah. Posisi yang bagus sebab tidak berisiko tertutup pangkal jempol. Tapi toh saya selalu menggunakan penyuara telinga alias earphone yang colokannya tersedia di “telapak kaki” perangkat ini.
Mumpung masih di area telapak kaki, saya infokan bahwa RP2+ memungkinkan kamu untuk menambah daya tampung data lewat slot Micro SD yang ada di sana. Di sisi seberangnya, di ubun-ubun, terdapat colokan USB-C dan HDMI Out yang bisa kamu tebak berfungsi untuk apa.
Retroid Pocket 2+ punya dengan baterai berkapasitas 4000 mAh yang saya rasa tidak bisa dilepas-pasang. Namun, produsennya menjanjikan waktu bermain yang cukup panjang, sekitar 4 jam untuk sekali cas penuh. Saya sendiri sih belum pernah menghabiskan seluruh kapasitas baterai dalam sekali jalan, jadi hampir belum pernah harus mengisi baterai hingga penuh.
Selain shoulder button yang sudah disinggung, kontrol Retroid Pocket 2+ bisa dilakukan dengan action button (tombol ABXY). Ada pula directional pad (tombol arah), dua jenis kontroler analog, dan tiga tombol fungsi (Home, Select, dan Start). Ya, ada dua jenis kontroler analog: satu (sebelah kiri) yang normal, satu lagi adalah jenis geser seperti yang ada di PSP.
Harga Retroid Pocket 2+ dan kekurangannya
Dengan harga hanya 99 dolar Amerika Serikat (tidak sampai 1,5 juta rupiah) sebelum ongkos kirim, Retroid Pocket 2+ tentu memiliki banyak kekurangan. Yang utama adalah dari sisi hardware, karena di situlah produsen bisa berhemat. Hehe.
Meski saya memuji ukurannya yang ringkas, nyatanya ia tetap membawa mudarat. Bagi orang dengan jemari panjang seperti saya, RP2+ akan terasa terlalu kecil. Masalah ini terutama muncul ketika memainkan game-game konsol yang bergantung pada shoulder button (misal Winning Eleven untuk umpan 1-2 dan mengganti kursor).
Berkebalikan dengan tombol arahnya yang ciamik, dua kontroler analog yang ada juga lumayan mengecewakan (dan saya adalah penggemar berat analog). Analog sebelah kiri lumayan lah, namun buat saya agak kekecilan dan gerakannya tidak sebebas analog pada umumnya. Analog kanan tidak usah dibahas ya. Karena mestinya tidak enak dipakai, dan tidak pernah saya pakai juga.
Untuk orang yang pelit seperti saya, ukuran action button (tombol ABXY) yang kecil juga menjadi masalah. Bukan apa-apa, sesenang-senangnya saya menghajar Eddy Gordo di Tekken 3, saya tetap tidak setega itu membiarkan ABXY yang imut-imut itu ikutan hancur. Belum lagi kalau saya khilaf streaming Hades lewat sini; bisa-bisa tombol B terpendam dan tidak balik-balik. Ingat, ini bukan barang yang mahal-mahal amat.
RAM 2GB yang kecil itu memang bisa memainkan game-game jadul, namun ia tetap terlalu kecil. Untuk siapa? Untuk orang-orang yang bergidik ketika melihat status “1.0 GB available | 2.0 GB” di layar seperti saya. Iya, sebagian (sekitar 100-200MB) dari angka itu diambil oleh Google Play Services, tapi kan tetap saja, lima puluh persen RAM dalam kondisi idle? Keringetan bacanya.
Oke, sebelum kekurangannya semakin mengada-ada, kita melaju saja ke kesimpulan.
Kesimpulan: Lebih keren daripada Steam Deck
Seperti yang saya bilang, Retroid Pocket 2+ tercipta untuk game-game jadul. Pun demikian dengan salah satu alasan saya membelinya sejak awal: menghadirkan kembali sensasi memainkan kenangan masa kecil. Ia pun melakukannya dengan sangat baik, bahkan untuk hal-hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Kalau orang Jawa Timur bilang, punches above its weight-lah pokoke.
Semua terlihat, terdengar, dan terasa persis seperti saya bermain di PS1 sungguhan dahulu. Mendengar Jon Kabira memekikkan “SHUUTO!”, mengalahkan Tiny Tiger di Tiny Arena, maupun sekedar melirik payudara lancip Lara Croft, semua sama. Hanya saja, dalam skala yang lebih kecil dan saya bermain sendiri (yang, jika kamu membaca ulasan ini dengan baik, akan paham kalau masalah ini bisa diselesaikan via HDMI dan Bluetooth).
Kamu bahkan bisa meningkatkan grafis game-mu, mengingat perangkat lunak emulasi mampu mengoptimalkan visual game mengikuti spesifikasi hardware-nya. Ini berarti, semakin teknologi berkembang, game kesayangan kamu bisa tampil semakin cantik. Jika di titik ini saya masih gagal meyakinkanmu: Retroid Pocket 2+ adalah Playstation 1, Game Boy Advance, Nintendo DS, Play Station Portable, GameCube, Dreamcast, Nintendo 64, dan (sedikit) Playstation 2 berjalan yang muat di dalam kantongmu!
Meski demikian, haru saya akui, Retroid Pocket 2+ dengan segala kelebihannya tetaplah produk yang berada jauh di bawah level Steam Deck. Namun, keduanya sama-sama memungkinkan kamu untuk memainkan game-game jadul di atas kasur, di ojek, atau di toilet. Bedanya, memainkan RP2+ di depan umum tidak akan membuat saya jadi pusat perhatian, tersedia dalam berbagai macam warna, dan sudah bisa dibeli sejak bulan Januari lalu.
Buat saya sih, itu sudah cukup membuat Retroid Pocket 2+ punya saya lebih keren daripada Steam Deck (yang tidak kamu punya).