Butuh waktu yang tak sebentar bagi esports alias olahraga elektronik untuk dikenal dan diterima sebagai olahraga baru. Perkaranya satu: Aspek mana dari cabang ini yang bisa disebut sebagai olahraga?
Beberapa pengamat telah menegaskan bahwa esport tak ubahnya seperti catur, yang aspek olahraganya juga diragukan. Bahwa para atletnya dituntut memiliki fisik yang prima agar bisa duduk berjam-jam juga kian mendukung posisi mereka sebagai olahraga.
Lantas, satu per satu kompetisi olahraga menyertakan esport sebagai salah satu cabang mereka. Kita melihat ia dijadikan sebagai eksibisi di Asian Games 2018 Jakarta. Di Manila, Filipina, olahraga elektronik bahkan resmi masuk sebagai cabang olahraga SEA Games 2019.
Kendati begitu, keraguan-keraguan tetap saja muncul. Pada 2018, Uli Hoeness yang kala itu menjabat sebagai presiden Bayern Muenchen menolak tegas rencana klub mendirikan departemen khusus olahraga elektronik. Ia menyebutnya sebagai bisnis yang ‘benar-benar tidak masuk akal’.
“Tidak masuk akal rasanya membayar satu euro pun untuk mengembangkan itu. Para pemuda harusnya berolahraga di tempat latihan. Di Bayern upaya menghadirkan esport juga ada, tapi saya jelas menentangnya,” ungkap Hoeness.
Setahun kemudian, omongan Hoeness itu tak lebih dari bualan belaka. Pendiriannya tiba-tiba berubah. Ia menyebut bahwa Bayern siap mendirikan tim esport sebagai upaya menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat.
Bayern lantas menjadi klub Jerman ke-7 yang memastikan diri menginjakkan kaki di ranah esports. Di Prancis, Paris Saint-Germain juga melakukan hal serupa. Ada pula Ajax Amsterdam, Liverpool, hingga klub Indonesia seperti PSS Sleman dan Bali United.
Karena uang
Lantas, apa yang bikin klub-klub itu berbondong-bondong merambah lini tersebut? Jawaban paling utama adalah bisnis. Yup, sesederhana itu. Klub asal Denmark, FC Copenhagen, bahkan mengakui bahwa upaya mereka menghadirkan esport murni upaya menambah pemasukan.
“Selama 2016, kami mulai serius melihat esport dan saya yang akan memimpin proyek ini. Tapi perlu diingat bahwa saya bukan orang esport, jadi saya tidak benar-benar menyukainya. Berarti bisa dibilang bahwa ini murni bisnis,” kata Christian Sorensen, CEO tim esport Copenhagen.
“Bagi saya ini adalah soal mengembangkan nama FC Copenhagen menjadi lebih besar lewat lini bisnis baru. Jadi kami berpikir, kenapa tidak? Ini membuat kami memiliki audiens tambahan dan tentu akan menarik,” sambung Sorensen.
Rencana Sorensen masuk akal sebab esport memungkinkan itu terjadi. Ini adalah ladang subur dengan perputaran uang dalam jumlah fantastis. Kompetisi Dota 2 paling akbar di dunia, The International, bahkan memiliki total hadiah di atas 34 juta dolar Amerika pada edisi terakhir.
Menariknya, angka tersebut hampir mencapai setengah dari total uang yang diperoleh Bayern Muenchen karena memenangi semua pertandingan Liga Champions 2019–20 (95 juta dolar Amerika), kompetisi sepak bola yang disebut-sebut memiliki hadiah terbesar.
Secara keseluruhan, industri esport menghasilkan pemasukan hingga 900 juta dolar Amerika pada 2019. Setahun berselang angka itu meningkat menjadi 1,1 miliar. Ini diiringi pula dengan total audiens yang terus tumbuh hingga 495 juta orang.
Angka-angka itulah yang kemudian jadi perhatian banyak klub olahraga profesional. Apalagi, kebutuhan finansial mereka terus berubah setiap tahunnya, salah satunya karena harga pesepakbola yang semakin hari semakin tinggi.