Sebagai cabang olahraga yang masih belia, regulasi jadi tantangan terbesar esports. Satu yang paling pelik adalah soal perpindahan pemain. Bagaimana mekanismenya? Apakah ada biaya transfer? Apa saja yang dilarang?
Ketidakjelasan itu ujungnya berakhir menyebalkan: Masalah muncul di mana-mana, termasuk praktek poaching.
Dalam esports, poaching adalah tindakan ilegal. Ini merujuk pada usaha owner, atlet, atau manajemen sebagai perwakilan sebuah tim tertentu untuk mendekati atlet esports tim lain.
Kedengarannya sah-sah saja. Namun, dalam poaching, sebuah tim biasanya melakukan pendekatan tatkala si pemain terikat kontrak dengan tim lain atau masih terdaftar di Global Contract Database. Gamblangnya, ini pencurian pemain.
Beda game, beda regulasi
Poaching marak pada hampir semua game di tiap negara. Pada 2015, tim League of Legends Fnatic kedapatan melakukan poaching saat merekrut dua pemain H2K, Andrei ‘Odoamne’ Pascu dan Petter ‘Hjarnan’ Freychuss.
Kasus serupa juga terjadi di Counter Strike: Global Offensive. Misalnya melibatkan Luminosity dan SK Gaming. Luminosity menuduh SK melakukan poaching terhadap pemain mereka jelang pembukaan MLG Columbus Major.
Anehnya, kasus itu menguap begitu saja tanpa adanya kejelasan ataupun tindakan hukum lebih lanjut. Mau bagaimana lagi, skena Counter Strike memang tak mengatur hal tersebut secara persis.
Merujuk ESPN, ELeague selaku induk esports Counter Strike mengambil tindakan berdasarkan kasus per kasus yang muncul. Itu berarti penanganan tiap kasusnya masih amat kondisional.
“Pemilik tim dapat mengajukan keluhan resmi kepada ‘ELeague’ jika muncul kasus poaching atau tindakan lain yang mungkin dapat merusak ‘ELeague’,” tutur ELeague kepada ESPN.
“Masalah disiplin terhadap tim atau pemain ditangani atas kebijakan komisaris ‘ELeague’,” sambung mereka.
Berbeda dengan ELeague, skena esports League of Legends punya pendekatan yang jauh lebih jelas. Riot selaku publisher game ini memberlakukan beberapa aturan ketat terkait aktivitas pendekatan ilegal.
Semua pemain harus memiliki kontrak tertulis dengan tim yang mereka perkuat. Selama kontrak tersebut masih aktif, aktivitas pendekatan dalam bentuk apapun tak diperbolehkan, kecuali tim terkait sudah memberi izin.
Tapi bukan berarti poaching lenyap begitu saja. Pada 2014, tim League of Legends Counter Logic Gaming kedapatan melakukan pendekatan terhadap Scarra. Padahal, Scarra waktu itu masih tercatat sebagai pemain Dignitas.
Untungnya, Riot selalu memberi teguran atau bahkan hukuman berat bagi siapapun yang melanggar. Counter Logic Gaming lantas mendapat denda 10 ribu dolar AS sembari mesti menahan malu di depan publik.
Poaching di Indonesia
Indonesia sama sekali tak luput dari aktivitas poaching. Jumlah kasusnya pun tak sedikit. Aktivitas ini pernah melibatkan nama-nama tenar seperti Ilham ‘Susugajah’ Bahrul hingga Muhammad ‘Bobbs’ Yurryansyah.
Namun, karena esports masih sangat bergantung pada publisher gamer terkait, regulasi yang diterapkan pun berbeda-beda. Beberapa memberlakukan denda, sebagian lagi cuma teguran verbal.
Salah satu publisher yang cukup aktif dalam memberantas poaching adalah Garena. Sayangnya, regulasi baru mereka terapkan untuk Free Fire dan Arena of Valor saja. Untuk Call of Duty, hal serupa belum berlaku.
Mau bagaimana lagi, jumlah game yang dipertandingkan di esports tak sedikit. Di sisi lain, asosiasi esports belum memberlakukan aturan yang jelas terkait poaching. Ujung-ujungnya ya begini, tiap game punya regulasi terkait poaching yang berbeda. Bahkan ada game yang tak mengatur hal tersebut sama sekali.
For the record, yang begini tak cuma terjadi di Indonesia.