Puluhan orang yang tak saling kenal terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Selama beberapa saat mereka mesti menyusuri titik tertentu untuk sekadar mencari tempat persembunyian atau mengumpulkan senjata. Ketika semuanya selesai, misi mereka satu: Menghabisi semua lawan guna menjadi satu-satunya orang yang bertahan.
Jika familier dengan gambaran demikian, sudah pasti Anda pernah memainkan salah satu dari game berikut ini: PUBG Mobile, Free Fire, Fortnite Battle Royale, Apex Legends, Modern Warfare, hingga Call of Duty Mobile. Inilah sederet game yang merajai genre battle royale selama beberapa tahun belakangan ini.
Sekarang, genre tersebut kedatangan game baru. Namanya Omega Legends. Maka, sudah saatnya saya ucapkan selamat datang di dunia yang sesak oleh game battle royale.
Sejarah mencatat bahwa game battle royale mulai muncul ke permukaan lewat mod Minecraft yang bernama ‘Hunger Games’ pada 2012. Namun, ia baru benar-benar populer ketika programmer Brendan Greene menciptakan PlayerUnknown’s Battle Royale. Yep, PUBG.
Greene berangkat dari pandangan yang begitu subjektif. Menurut dia, game-game dengan genre battle royale yang beredar selama ini tak ada yang bagus. Maka tatkala sosok asal Irlandia itu mendalami pemrograman, dia melakukan modifikasi pada beberapa game. Arma 2 salah satunya.
Dari mod itu dia menghasilkan DayZ: Battle Royale. Tak lama berselang, pada 2017 tepatnya, dia memperbarui DayZ hingga akhirnya lahirlah PUBG.
Berbagai respons positif lantas muncul. Saat masih rilis dalam versi beta saja, dalam setahun PUBG sudah memiliki 30 juta pemain. Tak salah jika kemudian PUBG mendapat ganjaran penghargaan Game of the Year dan kini dianggap sebagai pelopor game battle royale.
Anggapan itu sama sekali tak berlebihan sebab setelah kelahiran PUBG, game dengan genre serupa terus bermunculan. Beberapa memang mengusung genre battle royale sejak awal, seperti Apex Legends dan Free Fire. Namun, tak sedikit yang sebetulnya tak lahir sebagai game battle royale.
Salah satunya Fortnite. Ketika Epic Games merilisnya pada Juli 2017, Fortnite tak ubahnya game multiplayer survival biasa. Pada akhir 2017, mereka merilis mode battle royale yang bahkan justru bernasib lebih baik. Ia lebih populer ketimbang versi utamanya.
Game milik Electronic Arts, Battlefield V, punya kisah yang mirip. Dalam sebuah pameran di Los Angeles pada 2018, orang-orang sudah menduga bahwa EA akan menyajikan update yang tak pernah ada di game itu sebelumnya. Update seperti apa?
“Setiap hari, kami akan membawa sesuatu yang baru. Dan sebagai bagian dari perjalanan itu, setelah peluncuran nanti, Anda akan mendapatkan sesuatu yang selama ini sering Anda minta,” kata Oskar Gabrielson, manajer umum EA Digital Illusions CE.
Lars Gustavsson, yang berdiri di samping Gabrielson, lantas menimpali. “Itu… Battle Royale!”
Mengapa game battle royale populer?
Semua yang bertempur di arena battle royale pada mulanya punya kondisi serupa: Tak punya apa-apa. Dengan begini, battle royale seolah menyajikan random chances. Segala sesuatunya tak bisa Anda prediksi. Anda bisa jatuh di mana saja, menemukan senjata dan kendaraan apa saja, berjumpa siapa saja.
Orang-orang menyukai pendekatan demikian. Konsepnya serupa dengan sistem gacha di sejumlah game. Seperti battle royale, ada ketidakpastian di sistem itu yang pada akhirnya merangsang hormon dopamin untuk menimbulkan perasaan senang terus-menerus.
Semua ketidakpastian itu berpadu dengan konsep bertahan hidup yang memang jadi aspek utama game battle royale. Konsep inilah yang menurut Rogelio E. Cardona Rivera dari Universitas Utah memunculkan daya tarik yang kuat di jiwa setiap orang.
Secara langsung, kata Rivera, battle royale menyentuh hirarki kebutuhan hidup manusia yang diperkenalkan Abraham Maslow.
“Game battle royale biasanya menggabungkan aspek bertahan hidup, eksplorasi, mengumpulkan/memungut sesuatu, serta ketrampilan,” katanya.
Dalam sebuah artikel di Wired, tertulis bahwa dua tingkat terbawah hirarki Maslow (kebutuhan fisiologis dan keamanan) sudah terwakili oleh banyak sekali judul game. Di Dark Souls, misalnya, Anda akan menghadapi banyak musuh kuat dan sebisa mungkin tak terbunuh.
Namun, masih dalam artikel yang sama, ada tiga hal lain yang belum tersaji di banyak game: Minat, harga diri, dan aktualisasi diri. Semua itu baru bisa Anda dapatkan di game battle royale. Karena strategi jadi kunci untuk bertahan hidup, semua yang terjadi di dalam tergantung diri Anda sendiri.
Di sisi lain, konsep battle royale juga memungkinkan setiap pemain untuk terhubung dan bertemu banyak orang. Ini tak cuma berkaitan dengan aspek sosial sebagai kebutuhan hidup manusia lainnya, tetapi juga membuat para gamer ingin membuktikan diri bahwa merekalah yang terbaik.
Terlebih, tak seperti game multiplayer online battle arena (MOBA) yang jumlah pemainnya terbatas (biasanya 5 vs 5), battle royale bisa mencapai 100 orang. Bahkan,Mavericks: Proving Ground sempat akan rilis dengan diikuti 400 pemain, meski proyek itu batal karena keterbatasan dana.
“Agar genre ini terus berjalan, mereka (para pengembang) mesti bereksperimen dengan aspek sosial di dalamnya. Mereka perlu terus mencari cara kreatif untuk bisa menyatukan semua orang di tempat yang sama,” papar Rivera.
Cara lain mencari uang bagi para pengembang
Hampir semua game battle royale bisa dimainkan secara gratis. Ini juga jadi alasan mengapa orang-orang menyukainya.
Namun, jika Anda lihat dari sisi berbeda, ini justru memunculkan strategi ampuh bagi para pengembang untuk menghasilkan uang. Karena game battle royale tersedia gratis, mereka coba memeras kocek gamer dengan menyediakan berbagai macam konten dan item in-game.
Salah besar jika Anda mengira keuntungannya tak seberapa. Fortnite, misalnya, meraih keuntungan hingga 2,4 miliar dolar Amerika dari penjualan item in-game. Semua itu mereka peroleh hanya dalam jangka waktu setahun sejak memperkenalkan mode battle royale.
Itulah kenapa, para publisher dan pengembang kenamaan semakin banyak yang mencemplungkan diri ke ranah battle royale. Itu juga alasan kenapa genre ini akan bertahan dalam waktu yang sangat lama. Terlebih, skena esports-nya berkembang sangat pesat.
Namun, tak semuanya demikian. Sosok di balik Metal Gead dan Silent Hill, Hideo Kojima, adalah salah satu orang yang mengaku tak akan pernah mencoba genre tersebut.
“Cara termudah untuk menghasilkan uang adalah dengan membuat game yang memungkinkan semua orang berada di sebuah pulau, lalu saling menembak satu sama lain. Saya tidak ingin membuat game seperti itu,” tegas Kojima.
Yang seperti Kojima hanya segelintir. Sisanya adalah mereka yang berpandangan sebaliknya. Karena itulah, game battle royale akan terus bertambah.
Ketika genre itu semakin banyak, sebetulnya para pengembang tak hanya menciptakan arena battle royale bagi gamer, tetapi juga tengah menciptakan arena tempur bagi semua game sejenis. Hanya game kuatlah (baca: punya banyak pemain) yang mampu bertahan.
***
Nikmati pengalaman gaming yang lebih seru dengan top-up UC PUBG termurah se-Indonesia di itemku! Jangan lupa juga untuk gabung di Forum itemku untuk berdiskusi seputar game dan esports bareng gamer lainnya.